Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S., Penulis dan Aktivis Dakwah
TANGERANGNEWS.com-Rencana revitalisasi pasar Anyar oleh Pemerintah Kota Tangerang sudah memunculkan penolakan dari pedagang.
Sebab sejatinya, revitalisasi yang digadang-gadang akan menelan biaya Rp140 miliar itu akan merelokasi para pedagang untuk sementara ke tempat lain, namun belum ada kepastian lapak berjualan di tempat baru.
Sebagaimana diberitakan oleh halobanten.com (28-01-2024), bahwa para pedagang akan tetap berjualan di pasar Anyar sampai pemerintah benar-benar telah memastikan ketersediaan lapak berjualan di tempat relokasi yang dijanjikan pemerintah, yakni di Pasar Mambo dan Pasar Anyar Selatan.
Beberapa hari sebelumnya juga para pedagang sempat turun ke jalan menolak relokasi ke Plasa Shinta dan Mal Metropolis yang jauh dan sepi pelanggan.
Hakikat Pasar
Rencana revitalisasi yang dilakukannya pemerintah ini adalah bagian dari program nasional dalam rangka membangkitkan perekonomian di Kota Tangerang. Namun demikian, dalam praktiknya justru pemerintah terkesan belum matang dalam persiapannya. Salah satunya belum adanya kepastian lapak di tempat relokasi. Wajar jika menimbulkan banyak penolakan dari pedagang sebab akan merugikan mereka.
Padahal pasar hakikatnya adalah tempat kegiatan berjual beli secara riil, yakni tempat bertemunya penjual dan pembeli secara langsung. Maka, pasar merupakan penopang kegiatan ekonomi riil masyarakat. Di sanalah roda perekonomian berjalan. Jelaslah pasar memiliki fungsi yang strategis dalam pengembangan ekonomi.
Oleh karena itu, pemerintah semestinya mampu menyediakan pasar yang nyaman, sehat dan terbebas dari praktik-praktik kecurangan serta melanggar syariat Islam. Sebab sejatinya pemerintah telah diamanahkan oleh rakyat untuk mengurusi segala urusannya. Demikianlah pandangan Islam tentang peran seorang pemimpin, yakni sebagai raa'in yakni pemelihara urusan rakyatnya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. al-Bukhari)
Maka, dalam sistem pemerintahan Islam, ada seorang petugas (qodhi hisbah) untuk berkeliling ke pasar demi mengawasi apakah ada pelanggaran yang dilakukan dalam praktik berjual beli di sana. Jika terdapat kecurangan dalam berjual beli, maka akan langsung ditindak di tempat dan dijatuhkan sanksi tegas bagi pelakunya. Karena Islam melarang perbuatan curang. Rasulullah saw pernah menegur seorang pedagang yang kedapatan berbuat curang terhadap barang dagangannya.
Sabda Rasulullah SAW
Dari Abu Hurairah r.a berkata, bahwa Rasulullah SAW melewati (pedagang) dengan setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut. Rasulullah saw mendapati jari-jari beliau basah, maka beliau bertanya: "Apa ini wahai pemilik makanan?" Sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah." Beliau saw bersabda: "Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas makanan agar manusia dapat melihatnya. Barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.' (HR. Muslim, Hadits No 147)
Butuh Perubahan Paradigma
Jelaslah bahwa Islam tak hanya memperhatikan aspek infrastruktur alias bangunan fisiknya saja terkait pasar, melainkan praktik muamalah itu sendiri apakah sesuai dengan syariat ataukah tidak. Revitalisasi pasar tidak akan membawa dampak yang signifikan jika tidak dibarengi dengan revitalisasi paradigma dalam perbuatan.
Hari ini, yang menjadi landasan dalam perbuatan manusia adalah kapitalisme sehingga keuntungan alias profit menjadi satu-satunya tujuan. Maka, tak peduli apakah keuntungan itu didapat dengan cara halal ataukah haram. Yang penting untung. Perubahan paradigma ini tentu saja membutuhkan sokongan dari sistem. Tentu saja sistem yang mampu mewujudkan paradigma yang benar hanyalah sistem Islam karena berasal dari Allah SWT, Sang Pemilik Semesta.
Sistem Islam akan melahirkan manusia yang bertakwa dan takut kepada Allah. Inilah modal yang akan menuntun setiap perbuatan untuk selalu berada di rel yang benar. Seseorang tidak akan berani melakukan pelanggaran terhadap syariat, termasuk saat bermuamalah karena takut mendapatkan dosa. Ini sungguh tidak kita dapati dalam sistem sekuler hari ini di mana agama dipisahkan dari kehidupan. Agama seolah menjadi racun bagi kemajuan, maka dicukupkan untuk mengatur peribadahan yang bersifat ritual saja. Padahal jika ingin hidup dipenuhi rahmat-Nya, agama harus menjadi fondasi bagi kehidupan individu, masyarakat, dan negara.
Di sisi lain, negara juga bertanggung jawab menjamin harga-harga kebutuhan di pasar mampu dijangkau oleh semua masyarakat. Jadi, pemerintah tak hanya sibuk revitalisasi infrastruktur, melainkan juga harus berupa merevitalisasi daya beli masyarakat. Tak dimungkiri, dalam setiap momen perayaan di negeri ini, misalnya Idulfitri, Imlek, Tahun Baru Masehi, bahkan Ramadan harga barang kebutuhan melonjak naik. Dan ini tak boleh dianggap sebagai sebuah kewajaran lantas dimaklumi.
Dalam Islam, pemerintah haram mematok harga, melainkan wajib menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Namun, pemerintah harus memiliki peran dalam mengawasi agar terjadi praktik sehat di pasar, misalnya melarang adanya penimbunan barang dan monopoli. Jika ini dilakukan, maka harga-harga akan stabil dan barang kebutuhan rakyat akan terdistribusi secara merata.
Demikianlah mekanisme Islam dalam menyejahterakan rakyatnya secara adil, sehingga tidak ada gap sosial sebagaimana yang terjadi hari ini. Sekali ini, ini membutuhkan kehadiran sebuah sistem sahih untuk mampu mewujudkannya. Bukankah kita mendamba baldatun toyyibatun wa robbun Ghafur?