TANGERANGNEWS.com- Memasuki awal Maret 2024, tanda-tanda musim hujan belum berakhir di sejumlah wilayah di Indonesia.
Menanggapi itu, Peneliti Klimatolog di Pusat Penelitian Iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional Erma Yulihastin mengatakan, musim hujan di kawasan Pulau Jawa mengalami perpanjangan.
"Hujan persisten yang turun dengan intensitas sedang bahkan ekstrem di Jawa tidak dipengaruhi oleh aktivitas gelombang atmosfer karena terbukti selama Februari tidak ada bukti penjalaran kelembapan dari arah timur maupun barat menuju Jawa," ujar Erma dalam akun X (Twitter) pribadinya pada Jumat, 1 Maret 2024.
Selain itu, hujan tidak dibentuk berdasarkan konvergensi angin skala luas yang umumnya dibentuk dari gatis ITCZ.
"Atau daerah konvergensi antar-tropis. Artinya, tidak ada faktor global dan remote forcing yg berperan signifikan dalam pembentukan hujan," tambahnya.
Lebih lanjut, Erma menambahkan, penyebab hujan ialah forcing local yang berasal dari memanasnya suhu permukaan laut baik di Laut Jawa maupun Samudra Hindia selatan Jawa.
Menurutnya, pemanasan suhu permukaan laut memiliki peran penting dalam menciptakan "Oceanic Convection System" masih aktif dan akseleratif.
Lanjutnya, kondisi angin dari Utara mengalami penguatan sistem konveksi yang massif dan terjadi meluas di laut dapat dengan cepat masuk ke darat dan bergabung dalam konveksi di atas darat efek orogragfis.
"Inilah yg membuat hujan jadi meluas bahkan ekstrem," imbuhnya.
Dikatakan Erma, dalam kondisi konveksi laut dapat terbentuk setiap hari oleh pemanasan suhu muka laut, maka menaburkan garam di atas lautan akan memperparah dan mempercepat sistem hujan yang terbentuk di atas laut sementara hujan tersebut telah siap ditranspor menuju darat.
"Lakukan hal terbaik yang bisa kita kontrol yaitu usaha untuk memperbaiki sistem drainase, menambah jumlah penampungan air, membuat dan meningkatkan sistem peringatan dini, dan lainnya. Modifikasi cuaca termasuk bagian dari usaha yang dampaknya di luar kontrol kita," tutupnya.