TANGERANGNEWS.com-Menjelasng puasa Ramadan yang tinggal menghitung hari, biasanya di Provinsi Banten terdapat tradisi munggahan yang masih dilaksanakan oleh warga.
Kurun waktu munggahan variatif, ada yang H-1 menjelang puasa, H-3 sampai H-7. Tradisi munggahan dapat dilaksanakan dengan mengisinya melalui silaturahmi pada yang masih hidup.
Ada juga dengan berziarah kubur kepada yang sudah meninggal dunia, untuk meningkatkan empati sehingga disebut munggahan.
Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Banten Iwan Falahudin menjelaskan biasanya munggahan digelar H-1 menjelang puasa.
Namun sekarang berkembang karena banyaknya aktivitas masyarakat sehingga menjadi H-3 bahkan H-7.
"Sekarang karena kepadatan acara jadi mundur waktunya. Rasa empati inilah akan ditingkatkan di bulan Ramadan sehingga disebut munggah. Empatinya akan naik sehingga disebut munggahan," ujarnya, Rabu 6 Maret 2024.
Dijelaskan Iwan, mengisi munggahan bisa dengan cara silaturahmi pada yang masih hidup. Lalu, mengajak yang masih hidup untuk berziarah pada yang sudah meninggal dunia sebagai pengingat akan kematian.
Ziarah kubur masuk dalam rangkaian munggahan untuk meningkatkan kadar keimanan agar seseorang mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian.
"Bersilaturahmi pada yang masih hidup dan mengajak ziarah, supaya kita yang masih hidup mengingat bahwa kita akan dikubur. Dalam rangka mengingat itulah, maka acara munggahan menjelang puasa Ramadan diadakan," jelasnya.
Selain itu munggahan juga dilakukan dalam rangka meningkatkan kadar keimanan, supaya punya persiapan lebih tinggi lagi menghadapi kematian.
Adapun bagi yang mampu, dalam munggahan juga terdapat tradisi "Kupatan". Kata Kupatan berasal dari kata kupat yang asal katanya dari kalimat "Kelepatan" atau kesalahan, sehingga disimpulkan "Lepat" karena setiap manusia tidak terlepas dari kesalahan.
"Ajaran itu dibawa oleh Sunan Gunung Jati ke Banten dan berkembang sampai saat ini," terang Iwan.
Ketupat merupakan makanan tradisional yang bahan utamanya dari beras dan dibungkus secara tradisional wadahnya menggunakan anyaman dari pucuk daun kelapa.
Makna lain dari membuat ketupat yaitu selain melestarikan tradisi, juga menikmati makanan di masa lalu.
"Kupatan ini agar kita menyadari bahwa kesalahan itu harus diperbaiki karena tidak ada manusia yang tidak salah, sehingga kita tobat dan tidak mengulanginya lagi," ujar Iwan.
Makna lain dari membuat ketupat yakni melestarikan tradisi yang baik serta menikmati makanan di masa lalu.
"Kalau makanannya lebih, kita bisa berbagi ke tetangga kita baik yang ada di kanan, kiri, depan, belakang, terlepas dari agamanya apa. Itu bagian dari simbol menghargai sesama bisa dengan saling berbagi ketupat," jelasnya.
Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat modifikasi dalam tradisi kupatan yang ditandai dengan munculnya kuliner Ramadan atau pasar Ramadan, bazar yang berlangsung menjelang Ramadan, awal puasa Ramadan dan seterusnya sampai akhir puasa.
Biasanya dalam pasar atau bazar kuliner Ramadan dijajakan makanan khas Banten yang sudah ada sejak zaman dulu yaitu Rabeg, Bontot, Ketan Bintul dan beragam makanan lainnya.
"Dalam tradisi munggahan dilakukan acara kupatan bagi yang mampu, bagi yang tidak mampu boleh mengikuti acara tersebut boleh tidak itu kan pilihan jadi jangan dipaksakan bagi yang tidak mampu ekonominya dan waktunya," tutur Iwan.
"Ini tradisi yang baik, jangan sampai kita tidak tahu makanan khas Ramdan di Banten. Tidak salah-salah amat kalau kita melestarikan tradisi-tradisi yang memang baik. Melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi yang baru lebih baik," sambungnya.
Menanggapi tradisi munggahan yang berkembang di Banten, pihak Kemenag menyikapinya secara positif karena dalam tradisi munggahan sarat akan nilai-nilai positif yang diajarkan agama, seperti halnya silaturahmi antar tetangga dan saudara, saling berbagi, menghormati serta menghargai.
"Inti tradisi munggahan adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya saling berbagi, menghormati, menghargai bahkan terhadap agama yang berbeda," tuturnya.
"Saya berharap tradisi yang sudah baik ini tetap dijaga, dan kalau ada yang lebih baik lagi lebih ditingkatkan lagi, kalau ada tradisi yang kurang berkesesuaian dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hukum tentu kita evaluasi lagi," sambungnya.