TangerangNews.com

Sengkarut Sistem Zonasi, Umat Butuh Solusi Hakiki

Rangga Agung Zuliansyah | Jumat, 2 Agustus 2024 | 09:02 | Dibaca : 178


Hana Annisa Afriliani, S.S., Aktivis Dakwah dan Penulis Buku. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)


Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S., Aktivis Dakwah dan Penulis Buku

 

TANGERANGNEWS.com-Hampir setiap tahun, yakni setiap masa penerimaan siswa baru di sekolah, selalu ada saja masalah yang muncul, apalagi sejak diberlakukan sistem zonasi sebagaimana tertulis dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 51 tahun 2018.

Sebagaimana kita tahu, sistem zonasi adalah suatu sistem yang digunakan oleh pemerintah dalam mengatur penempatan siswa ke sekolah yang terdekat dengan tempat tinggal mereka.

Tujuan utama dari sistem zonasi adalah memastikan akses yang adil dan merata bagi semua siswa. Namun sejak diberlakukannya, sistem zonasi ini ternyata memunculkan banyak masalah, seperti kecurangan atau manipulasi data siswa demi bisa mendapat kursi di sekolah yg diinginkan, hingga daya tampung sekolah yang terbatas.

Sebagaimana yang terjadi dalam PPDB Kabupaten Tangerang beberapa waktu lalu. Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang mencatat Penerima Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi mengalami kendala daya tampung ruang kelas. (Tangerangonline.id/02-07-2024)

Padahal seringkali digembar-gemborkan bahwa salah satu kelebihan sistem zonasi adalah membantu menghindari terjadinya kelebihan kapasitas di beberapa sekolah dan kekurangan di sekolah lainnya. Karena memang niat awal diberlakukan sistem ini adalah menghilangkan menumpuknya siswa di sekolah yang dianggap favorit.

 

Zonasi Bukan Solusi

Jelaslah bahwa kebijakan zonasi dalam PPDB bukanlah solusi yang tepat bagi persoalan tidak meratanya sebaran siswa, melainkan justru membuka banyak persoalan baru. Karena yang menjadi persoalan sesungguhnya adanya tidak tersedianya fasilitas pendidikan yang merata di setiap daerah.

Kualitasnya pun tidak sama, daerah terpencil sering dijumpai adanya bangunan sekolah yang tidak layak dan tidak tersentuh sama sekali bantuan pemerintah.

Sesungguhnya sengkarut sistem PPDB di negeri ini  tidak bisa dilepaskan dari tata kelola pendidikan yang masih berada di bawah sistem pendidikan sekuler-kapitalis. Inilah akar persoalan sesungguhnya. Sistem pendidikan sekuler-kapitalis meniscayakan pendidikan mahal sehingga sulit diakses oleh masyarakat.

Sebab pendidikan dalam sistem ini dipandang sebagai jasa yang boleh dikomersilkan (diperjualbelikan). Seolah-olah benar adanya adagium "Orang miskin dilarang sekolah".

Ditambah lagi, sistem pendidikan yang berada di bawah payung ideologi Kapitalisme ini telah menempatkan negara sebagai regulator, bukan pengurus urusan rakyat. Liberalisasi pendidikan menjadikan pihak swasta diberi kesempatan seluas-luasnya untuk terlibat aktif dalam pendidikan, termasuk menyediakan sarana prasarana pendidikan.

Bahkan pemerintah memandang bahwa kurangnya daya tampung pendidikan yang disediakan oleh negara mengharuskan negara bermitra dengan swasta. Pendidikan pun menjadi objek bisnis, dan mereka yang tidak mendapat jatah di sekolah negeri karena daya tampung kurang akhirnya harus bersekolah di sekolah swasta yang biayanya mahal.

Hal ini tentu menjadi beban bagi rakyat kecil. Hingga akhirnya banyak yang putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. Ini sungguh memprihatinkan, padahal sejatinya pendidikan adalah hak setiap warga negara tanpa mengenal status sosial.

Mengapa? Karena kualitas generasi akan ditentukan dari kualitas pendidikannya. Bagaimana mungkin mengharap generasi emas yang akan memajukan negeri ini jika untuk mendapat akses pendidikan saja begitu sulit? Tapi beginilah potret buram pendidikan di sistem kapitalistik, hanya mampu diakses orang berduit.

Berbeda dengan sistem Islam dalam institusi Khilafah sebagaimana pernah dicontohnya di masa Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin. Kepala negara (Khalifah) adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Negara hadir sebagai pelaksana dalam pelayanan pendidikan.

Sebagai penanggung jawab, negara tidak boleh menyerahkan urusannya kepada swasta. Negara akan bertanggungjawab menyediakan pendidikan yang berkualitas, murah bahkan gratis untuk warganya. Negara akan menjamin ketersediaan sarana dan fasilitas pendidikan di setiap wilayah, sehingga tidak ada satu pun warganya yang kesulitan mengakses pendidikan.

Tak hanya sarana, tetapi negara juga akan memastikan kualitas kurikulum dan pengajarnya demi terwujudkan tujuan pendidikan. Negara akan memberikan apresiasi gaji besar kepada para pengajar agar mereka fokus mendidik generasi, tidak sibuk mencari tambahan sana-sini.

Negara Khilafah akan memprioritaskan anggaran pendidikan yang diatur secara sentralisasi (terpusat). Seluruh pembiayaan pendidikan berasal dari Baitulmaal di bawah prinsip ekonomi Islam sehingga memampukan negara memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan rakyatnya. Alhasil, pendidikan Islam menjamin pemerataan di seluruh wilayah negara, baik di perkotaan maupun di pedesaan. 

Oleh karena itu, hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah di bawah naungan khilafahlah persoalan pendidikan akan teratasi. Inilah solusi mendasar yang harus kita pahami, bukan terus-menerus bergulat dengan solusi tambal sulam ala kapitalisme. Simpulannya, tidak ada pilihan lain selain menegakkan kembali khilafah di atas muka bumi ini sebagai solusi tuntas atas segala persoalan umat.

Dalam surah An-Nisa ayat 65 Allah berfirman yang artinya “Maka demi rabb-mu, mereka hakikatnya tidak beriman hingga menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. ”

Wallahu alam bis shawab