TangerangNews.com

Guruku Mengabdi, Guruku Dikriminalisasi

Rangga Agung Zuliansyah | Senin, 11 November 2024 | 09:26 | Dibaca : 454


Aba Qais, Guru dan Pemerhati Publik. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)


Oleh: Aba Qais, Guru dan Pemerhati Publik

 

TANGERANGNEWS.com-Di tengah ketidakpastian  para guru terkait nasib dan kesejahteraannya, di saat yang bersamaan para guru harus dihadapkan dengan adanya upaya kriminalisasi dari orang tua siswa.

Seperti beberapa kasus yang terjadi belakangan ini. Seorang guru bernama Maya di SMPN 1 Banteang, yang dijebloskan ke penjara, gegara menertibkan seorang murid yang baku siram dengan temannya dengan sisa air pel dan mengenai dirinya, siswa tersebut kemudian dibawa ke ruang BK dan dicubit.

Peristiwa itu, kemudian diketahui orang tua murid, yang merupakan seorang anggota kepolisian dan melaporkan Bu Guru Maya hingga proses ke meja hijau.

Ada pula Pak Guru Mubadzir di SMAN 2 Sinjai Selatan, yang dijebloskan ke penjara tersebab laporan orang tua siswa, karena guru tersebut memotong rambut seorang muridnya yang gondrong, padahal sebelumnya, siswa tersebut sudah diberi peringatan selama satu minggu.

Adapula seorang guru honorer, Supriyani di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara, ia kini menjadi terdakwa atas tuduhan melakukan pemukulan terhadap siswanya. Bukan hanya menghadapi upaya kriminalisasi, guru juga terpaksa harus menghadapi penganiayaan dari siswa ataupun orang tua.

Masih ingat kasus Guru Zaharman? Yang mengalami kebutaan permanen pada mata kanannya akibat ketapel oleh orangtua siswa. Orang tua siswa melakukan perbuatan tersebut karena Guru Zaharman menegur siswa dimaksud yang merokok di lingkungan sekolah saat jam pelajaran. (Disarikan dari pemberitaan beberapa media 10/11/2024)

Kasus- kasus di atas hanyalah secuil kasus kriminalisasi terhadap guru yang terjadi, masih banyak lagi kasus kriminalisasi yang sebenarnya tidak banyak diungkap. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena kriminalisasi guru cukup marak terjadi, tentu hal ini membuat miris, betapa tidak seorang guru yang seharusnya dihormati dan diapresiasi dalam tugasnya, kini penghargaan itu serasa sudah kandas tergilas dengan sikap apatis dari siswa dan orang tua siswa.

 

Dilema Guru 

Guru saat ini seakan menghadapi dilema dalam mendidik siswanya, disaat guru berniat mendisiplinkan dalam rangka mendidik, namun upayanya disalahartikan dan dianggap sebagai sebuah tindakan kekerasan. Meski memang ada kasus guru yang kebablasan dalam memberikan hukuman kepada siswa, tapi itu minim terjadi dan bersifat spontanitas.

Lagi pula, tidak semua guru berlaku demikian, umumnya seorang guru memiliki karakteristik sebagai pendidik, karena sebelum mendaftar sebagai guru mereka harus mengalami tahapan yang panjang serta proses seleksi yang tidak serampangan. 

Semestinya, para orang tua lebih bijak dalam menyikapi persoalan antara guru dan murid, jika anaknya terkena sanksi oleh guru, wali siswa atau orang tua dapat membicarakan secara baik-baik melalui jalur musyawarah dan kekeluargaan. Tidak langsung memvonis guru dengan sikap apatis hingga tindakan fisik bahkan sampai ke meja hijau.

Dalam tataran praktis terkhusus kasus-kasus tersebut diatas, berawal dari adanya cara pandang orang tua siswa yang salah terhadap guru. Para guru tidak diposisikan sebagai pihak yang membantu orang tua untuk mendidik putra-putrinya, tapi malah diposisikan sebagai pekerja jasa, yang apabila melakukan sedikit salah dalam tindakan, maka akan berujung perkara dan pemidanaan.

Hal ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa selama ini tidak adanya sinergi antara guru dan orang tua siswa.  Adapun sinergi mereka terlihat hanya pada persoalan administrasi dan keuangan saja. Wajar jika kemudian diantara guru dan orang tua siswa terjadi pola hubungan yang salah yang berujung  gesekan diantara keduanya.

Ideal peran guru begitu sangat mulia yaitu mendidik siswa-siswinya agar menjadi cerdas, disiplin dan taat. Ideal orang orang tua mempercayakan anaknya saat disekolah kepada gurunya sambil tetap saling mengkomunikasikan ke dua belah pihak atas perkembangan anak-anaknya.

Ringkasnya, fenomena kriminalisasi guru terjadi disebabkan guru sebagai pendidik sudah tidak dihargai, sementara siswa susah diatur, orang tua baperan, ditambah negara seolah tidak hadir ditengah- tengah mereka. Alih-alih seorang guru diapresiasi, malah jadi tersakiti. Alih-alih orang tua siswa berteimakasih malah jadi mengkasusi.

 

Beban Guru dalam Kapitalisme 

Tidak dimungkiri hidup dalam ekosistem kapitalisme yang banyak sekali tuntutan ekonomi membuat seseorang tak terkecuali guru mengalami banyak tuntutan persoalan. Seseorang, baik guru maupun orang tua akan cenderung emosional dalam menyikapi persoalan, yang dihadapinya.

Tugas guru menjadi  berat, terlebih di era yang serba digital yang  masif mempertontonkan gaya hidup bebas ala barat, yang berefek pada kepribadian siswa. Jangan heran, jika banyak dijumpai siswa minus adab terhadap guru dan orang yang lebih tua.

Fenemona kriminalisasi terhadap guru  semakin marak, manakala para guru harus dihadapkan pada undang-undang kekerasan terhadap anak, yang secara tidak langsung hal ini akan menjadi alat gebuk bagi siapa saja yang melakukan sedikit salah penyikapan seperti para guru diatas. Melihat demikian, persoalan ini tidak dilihat dari persoalan orang tua dan guru saja, tapi terkait erat dengan kebijakan penguasa dan pengaturan sistem pemerintahan.

 

Guru dalam Sistem Islam 

Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, seorang guru sangat dihormati dan dimuliakan, bahkan saking dimuliakannya gaji yang diberikan kepada guru cukup tinggi, sebagaimana pada masa Umar bin Khattab, gaji guru ketika itu sebesar 15 dinar perbulan (1 dinar = 4, 25 gram emas) jika dikonversikan ke dalam kurs rupiah sekarang berarti gaji guru pada saat itu sekitar 63 juta lebih (1 gram emas = 1 juta rupiah). Dengan kesejahteraan yang guru dapatkan, pastinya para  guru akan lebih fokus dengan perannya sebagai pendidik.

Disamping itu, negara dalam Islam, akan memberikan pemahaman kepada semua pihak yang terlibat di bidang pendidikan, agar mereka lebih optimal dalam menjalankan perannya serta dapat bersinergi dengan semua pihak, demi menguatkan dan menyatukan persepsi tentang tujuan- tujuan pendidikan dan output yang dihasilkan. Dengan begitu, baik guru, siswa, maupun orang tua masing-masing menjalankan perannya  dengan baik demi terlahirnya generasi cerdas dan cemerlang yang memiliki kepribadian Islam.

Iklim tersebut tentu hanya bisa terealisasi jika sistem pendidikan Islam dalam negara yang berbasis akidah Islam mampu direalisasikan. Oleh karena itu semua pihak, baik elemen masyarakat biasa maupun elemen kekuasaan, sudah semestinya mendukung perjuangan penerapan sistem Islam agar kesejahteraan guru bisa terjamin dan kriminalisasi terhadap guru tidak akan  terjadi lagi. Bukan hanya itu, penerapan sistem pemerintahan Islam mampu mewujudkan kesejahteraan ke seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang agama yang mereka anut, baik muslim maupun non muslim.

Wallahu 'alam bishawab