Oleh: Ummu Ainyssa, Aktivis Muslimah
TANGERANGNEWS.com-Bulan November lekat dengan peringatan Hari Guru Nasional (HGN), tepatnya di tanggal 25. Mulai dari Paud, TK, SD, SMP, SMA, bahkan wali murid pun ikut andil dalam perayaannya.
Berbagai macam bentuk perayaan dilakukan, hingga pemberian hadiah demi menghargai jasa para guru. Mulai dari gambar ucapan selamat hari guru, surat buat gurunya, cokelat, buket bunga, kue tart, hingga hadiah yang lebih mahal dari itu.
Tahun 2024 ini, peringatan HGN memasuki tahun ke-30 berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Sebagai bentuk perayaan atas dukungan sekaligus apresiasi atas jasa para guru, pemerintah melalui Kemendikdasmen telah merilis Pedoman Peringatan Hari Guru Nasional 2024 yang memuat tema dan logo baru. Sedang perayaan HGN tahun ini mengusung tema "Guru Hebat, Indonesia Kuat".
Berbeda dengan itu, Kementerian Agama (Kemenag) juga ikut merilis tema dan logo baru untuk peringatan HGN 2024. Tema yang dipilih adalah "Guru Berdaya, Indonesia Jaya".
Tema tersebut sebagai bentuk komitmen dalam meningkatkan kompetensi, kreativitas, dan kemandirian para tenaga pendidik. Hal ini dimaksudkan untuk memotivasi guru agar mereka mampu menghadapi tantangan zaman dan memenuhi kebutuhan pendidikan yang semakin dinamis.
Sedangkan logo versi Kemenag didesain dengan warna-warna cerah sebagai penyemangat dalam mengekspresikan harapan, inovasi, dan optimisme untuk masa depan. Logo baru ini memiliki beberapa filosofi, di antaranya, bentuk dinamis yang mengarah ke atas adalah sebagai simbol semangat.
Buku yang terbuka melambangkan sumber pengetahuan yang luas dan bisa diakses oleh siapa saja. Bentuk menyerupai ujung pena menggambarkan peran penting guru yang harus kreatif sebagai penulis masa depan melalui ilmu yang mereka ajarkan.
Bintang melambangkan tujuan jangka panjang untuk menghasilkan individu-individu unggul yang mampu bersaing di tingkat global, berperan aktif dalam kemajuan bangsa, serta membawa negeri ini menuju masa depan yang gemilang. (Detik.com, 19-11-2024)
Kesejahteraan Semu Guru Dalam Sistem Kapitalisme
Melihat beraneka bentuk dan antusias peringatan HGN, sekilas terlihat seolah-olah guru di negeri ini benar-benar sudah sejahtera dan mulia. Keberadaan mereka sungguh terasa bak pahlawan. Padahal realitasnya nasib para guru belumlah seindah yang dipuja. Guru yang seharusnya menempati posisi mulia dan terhormat karena keluhuran profesinya, belumlah mendapatkan perlakuan yang layak.
Terutama para guru honorer yang nasibnya belumlah menampakkan kesejahteraan yang diimpikan.
Minimnya gaji yang mereka terima, memaksa mereka harus mencari sampingan di luar jam mengajar demi mencukupi kebutuhan. Akibatnya guru tidak bisa fokus pada tugas utama pengajaran. Sementara berulang kali gantinya kurikulum pun nyata menguras waktu dan pikiran mereka. Mereka didikte kurikulum yang terkadang tidak sejalan dengan pemahamannya.
Belum lagi jika keberadaan seorang guru yang sedang melakukan pembinaan karakter terhadap anak didiknya, terkadang tak luput dari kriminalisasi. Jangankan dimuliakan, tak sedikit orang tua murid yang justru memolisikannya. Hanya karena orang tua tidak terima akan nasihat kepada anaknya. Jika sudah begini, murid pun juga tidak akan memuliakannya. Akibatnya banyak murid yang tidak hormat, bahkan tega menganiaya gurunya hanya karena tidak terima dengan nasehatnya.
Masih hangat diperbincangan bahkan menarik perhatian banyak pihak kasus yang hingga kini belum juga usai. Bagaimana Supriyani, 36, seorang guru honorer di SD Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang dikriminalisasikan oleh seorang anggota polisi dengan tuduhan pemukulan terhadap anaknya.
Pernah juga terjadi kasus pemukulan yang dilakukan murid kepada gurunya, hanya karena dilarang merokok di dalam kelas.
Beginilah lengkapnya derita bagi guru dalam sistem kapitalisme saat ini. Gaji minim, masih harus pontang-panting mencukupi kebutuhan sendiri, tidak dihormati murid ataupun wali murid, padahal mereka sudah mengorbankan waktu dan pikiran untuk mendidik anak orang. Alhasil kesejahteraan yang mereka impikan hanyalah semu. Apakah sikap seperti Ini yang disebut memuliakan guru? Mungkinkah keberkahan ilmu bisa didapat?
Islam Memuliakan Guru
Berbeda dengan sistem Islam. Islam sangat memuliakan guru. Banyak kisah bagaimana kegigihan para ulama saat duduk di bangku pendidikan untuk belajar. Dengan kesungguhan dan ketekunannya, tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama hebat bahkan melahirkan banyak karya yang bisa dinikmati dan dibaca hingga saat ini.
Namun demikian, sekadar mencukupkan untuk belajar tidak akan cukup tanpa disertai dengan adab untuk memuliakan guru-gurunya. Sebab, memuliakan guru merupakan kewajiban bagi setiap pelajar.
Karena itu, para ulama sejak dahulu selalu menekankan tentang pentingnya memuliakan guru. Dalam kitab Ta’limul Muta’allim Fi Thariqit Ta’allum, hal. 55, Imam Burhanuddin az-Zarnuji mengatakan bahwa seorang murid tidak akan pernah mendapatkan ilmu dan manfaatnya, jika ia tidak memuliakan ilmu, orang yang berilmu, dan menghormati guru-gurunya.
Beliau juga menambahkan, tidak akan sukses orang yang telah sukses kecuali dengan hormat, dan tidak akan gagal orang yang gagal kecuali disebabkan tidak hormat.
Sementara Syekh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi, dalam salah satu kitabnya menuliskan nasehat, “Jadilah kalian orang yang memuliakan serta mengagungkan gurumu. Karena sungguh, memuliakannya bagian dari memuliakan ilmu. Kalian tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan memuliakan ilmu dan memuliakan guru.” (Syekh Syatha, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, (Beirut, Darul Kutub Ilmiah) halaman 170).
Kewajiban memuliakan guru bukan hanya ditimpakan kepada murid saja, namun juga kepada orang tua murid. Sebab sikap orang tua yang memuliakan guru dari anak-anaknya bisa mendatangkan keberkahan ilmu bagi anaknya. Oleh karena itu orang tua seharusnya antusias menyekolahkan anak-anak mereka serta memberi dukungan dalam belajarnya.
Pada masa Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, beliau datang bersama pengawal dan anak-anaknya kepada seorang guru, Atha bin Abi Rabah untuk bertanya dan belajar ilmu. Khalifah pun memberi nasihat kepada anak-anaknya, "Wahai anak-anakku! Bertakwalah kepada Allah, dalamilah ilmu agama, demi Allah belum pernah aku mengalami posisi serendah ini, melainkan di hadapan hamba ini (Atha'). (Aidh Al-Qarny, Ruh wa Rayhan, 296) Kisah ini menunjukkan betapa mulia dan terhormatnya seorang guru, hingga seorang Khalifah pun rela mendatanginya untuk ikut belajar ilmu.
Selain itu, di dalam Islam, guru juga mendapatkan perhatian yang begitu besar dari negara.
Dari Ibnu Abi Syaibah, dari Wadhiyah bin Atha' mengatakan, "Di Madinah ada tiga tenaga pengajar, yang mengajari anak-anak kecil. Khalifah Umar bin Al-Khattab pun memberikan mereka upah 15 dinar perbulan." (HR. Ibn Abi Syaibah) (1 dinar = 4,25 gram emas, jika diuangkan saat ini sekitar 63 juta rupiah).
Sementara pada masa Abbasiyah, Zujaj setiap bulannya mendapat gaji 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar per bulan oleh Al Muqtadir.
Bukan hanya gaji yang tinggi, tetapi negara juga akan memfasilitasi semua yang dibutuhkan oleh guru sebab guru adalah pekerja yang digaji negara. Negara akan memberikan fasilitas baik berupa perumahan, istri, pembantu, ataupun alat transportasi. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, maka ia akan disediakan rumah, jika ia belum beristri hendaknya menikah (akan dinikahkan), jika ia tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika ia tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selain dari itu, maka itulah kecurangan.” (HR. Imam Ahmad).
Dengan terpenuhi semua kebutuhannya, tentu guru akan fokus memberikan pengajaran tanpa harus mencari sampingan. Demikianlah akhlak seorang muslim terhadap guru atau ulama, terlebih jika ia atau anak-anaknya sedang atau pernah berguru langsung kepadanya. Begitu juga negara seharusnya memosisikan guru sebagai orang yang terhormat. Memperlakukannya dengan penuh sikap hormat (takzim), memuliakan (ikram) dan melayani keperluannya (khidmat). Bukan hanya sekadar memberikan ucapan basa-basi sementara di satu sisi tidak mempedulikan kesejahteraanya.
Dengan perlakuan seperti ini, guru akan rida terhadap anak didiknya. Guru juga bisa fokus dalam memberikan pengajaran dan pendidikan tanpa harus memikirkan biaya kebutuhan bagi keluarganya. Sehingga hari guru bukan hanya dirasakan setahun sekali dengan ucapan dan bingkisan. Namun hari guru bisa dirasakan setiap hari oleh para guru karena dimuliakan. Guru mulia, murid beradab mulia, negara pun berkah, kuat, dan berjaya.