TANGERANGNEWS.com- Dosen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) I Made Andi Arsana membantah klaim lokasi pagar laut di kawasan pantai utara Kabupaten Tangerang dulunya merupakan daratan. Berdasarkan analisis citra satelit, area tersebut sejak dulu memang merupakan bagian dari perairan.
Andi menjelaskan, penelitian dilakukan dengan membandingkan citra satelit dari berbagai tahun. Salah satu yang menjadi acuan adalah citra dari 1976, yang menunjukkan bahwa garis pantai pada saat itu masih berjarak ratusan meter dari lokasi pagar laut saat ini.
"Kita bandingkan garis pantai di tahun itu dengan posisi pagar laut yang sekarang itu masih jauh sekali (daratannya) ratusan meter," ujarnya dalam acara Sekolah Wartawan bertema Memetakan Sengkarut Pagar Laut, yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Kampus UGM (Fortakgama) di Yogyakarta, Kamis, 30 Januari 2025, dikutip dari Kumparan.
Hasil serupa juga terlihat dalam citra satelit tahun 1982. Andi menyebut, meskipun ada klaim sertifikat tanah pada tahun tersebut, data yang ada menunjukkan pada area tersebut belum menjadi daratan.
Dalam analisis ini, Andi juga menelusuri kemunculan pagar laut dari citra satelit terbaru. Ia menemukan struktur pagar bambu tersebut mulai terlihat sejak Juni 2024 dengan panjang sekitar enam kilometer. Pada Juli, panjangnya bertambah enam kilometer lagi.
"Ada kemungkinan pembangunannya bisa jadi Mei. Kita tidak bisa lihat (Mei) karena citra satelit yang kita download semuanya klir, jadi ada awannya," tambahnya.
Lebih lanjut, Andi memperkirakan pagar laut di Tangerang bisa jadi sudah mulai dibangun sejak Mei 2024. Namun, karena citra satelit saat itu tertutup awan, ia tidak bisa mengonfirmasi secara pasti.
Selain soal perubahan garis pantai, Andi juga menyinggung mengenai aspek hukum terkait kepemilikan wilayah laut. Sebab, berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), perairan kepulauan tidak bisa dimiliki oleh individu atau perusahaan.
"Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tidak boleh ada hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (HGB) di situ. Itu kesimpulan berdasarkan hukum internasional," tegasnya.
Kata Andi, sebetulnya Indonesia sempat memiliki aturan yang memungkinkan individu, badan usaha, atau masyarakat adat menguasai ruang laut, seperti yang diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Namun, aturan tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai tidak memenuhi prinsip keadilan.