TangerangNews.com

Tidak Disangka, Ternyata Ini Penyebab Biaya Kesehatan di Indonesia Selangit

Fahrul Dwi Putra | Rabu, 12 Februari 2025 | 11:43 | Dibaca : 80


Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin (@TangerangNews / Dok. BNPB)


TANGERANGNEWS.com- Biaya layanan kesehatan di Indonesia terus meroket, dan ternyata ada sejumlah faktor utama yang membuat pengeluarannya semakin tidak terkendali. 

Hal diungkapkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengenai sistem pembiayaan kesehatan nasional saat ini mengalami ketidakseimbangan.

 Belanja kesehatan yang meningkat setiap tahun jauh melampaui pertumbuhan ekonomi, sehingga sulit untuk berkelanjutan dalam jangka panjang.  

"Sekarang tuh Rp614 triliun setiap tahun cashflow yang harus dikeluarkan oleh sistem. Yang harus kita hati-hati, pertumbuhan belanja nasional itu selalu di atas pertumbuhan GDP (PDB). Itu akibatnya tidak sustain," ujar Budi dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI, dikutip dari CNN Indonesia, Rabu, 12 Februari 2025.

Setiap tahunnya, sistem kesehatan di Indonesia harus mengeluarkan dana mencapai ratusan triliun rupiah. Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa ada upaya perbaikan, beban keuangan negara akan semakin berat. 

Budi mengibaratkan situasi ini seperti seseorang yang terus meningkatkan pengeluarannya sebesar 10 persen setiap tahun, tetapi pendapatannya hanya bertambah 5 persen. Dalam jangka panjang, keuangan orang tersebut tentu akan bermasalah.  

Salah satu penyebab utama mahalnya biaya kesehatan adalah kurangnya transparansi dalam sistem pembiayaan layanan medis. Harga layanan dan obat-obatan di rumah sakit bisa bervariasi drastis tanpa ada standar yang jelas. 

"Layanan kesehatan itu inflasinya tinggi karena informasinya tidak simetris. Misalnya, biaya sunat di pusat kesehatan swasta Rp500 ribu, kalau di RSUD bisa Rp1 juta, di rumah sakit swasta besar bisa Rp5 juta. Harga bisa naik 100 persen hingga 1.000 persen," bebernya.

Di klinik swasta, biayanya mungkin hanya sekitar lima ratus ribu rupiah, tetapi di rumah sakit umum daerah bisa mencapai satu juta rupiah, dan di rumah sakit swasta besar bisa melonjak hingga lima juta rupiah.  

Selain itu, harga obat-obatan di Indonesia juga jauh lebih mahal dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia. Budi mengungkapkan bahwa perbedaan harga ini bisa mencapai 300 hingga 400 persen. 

Salah satu faktornya adalah ketidakseimbangan informasi antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Pasien sering kali tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mempertanyakan mengapa harus menjalani prosedur tertentu atau mengapa diberikan banyak jenis obat yang sebenarnya bisa diminimalkan.  

Kondisi ini berkontribusi pada lonjakan inflasi di sektor kesehatan, yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai negara lain. Untuk mengatasi permasalahan ini, Budi menekankan pentingnya memperkuat sistem asuransi kesehatan. 

Saat ini, hanya sekitar sepertiga dari total belanja kesehatan nasional yang ditanggung oleh asuransi, padahal idealnya angka ini bisa mencapai 80 hingga 90 persen.  

Adapun BPJS Kesehatan saat ini baru menanggung sekitar 27 persen dari total biaya kesehatan nasional, sementara asuransi swasta hanya mencakup 5 persen. Jika cakupan asuransi bisa diperluas hingga 80 persen, pemerintah akan memiliki daya tawar yang lebih kuat untuk menekan harga layanan kesehatan agar lebih terjangkau.  

Namun, Budi menyebut dominasi asuransi kesehatan sebaiknya tetap berada di tangan pemerintah, bukan swasta. Ia mencontohkan kondisi di Amerika Serikat, di mana dominasi perusahaan asuransi swasta justru membuat biaya kesehatan semakin tidak terkendali. 

Jika asuransi swasta yang mendominasi, ada kemungkinan terjadi permainan harga antara rumah sakit, dokter, dan perusahaan farmasi, yang pada akhirnya merugikan masyarakat.  

Menurut Budi, jika tidak ada langkah serius untuk mengendalikan belanja kesehatan, beban anggaran negara bisa semakin berat dalam satu dekade ke depan. Bahkan, berpotensi menimbulkan krisis politik.

"Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan akan problem, karena ini akan menjadi isu politik yang sangat tinggi. Masyarakat lebih baik miskin daripada meninggal, jadi kesehatan itu prioritas utama," katanya.