TangerangNews.com

JANJI (YANG) KONSERVATIF

| Minggu, 8 Juli 2012 | 15:17 | Dibaca : 816

Oleh: Khalifardi Utama
Mahasiswa Universitas Gajah Mada


 
                Perubahan tidak selalu hadir dalam bentuk autentik secara fisik. Hasil yang kasat mata, tidak bisa menjadi nilai akan sebuah keberhasilan. Kebiasaan untuk melihat dunia melalui satu perspektif, menjadi lahan basah atas sebuah konstruksi ide. Jika dilihat melalui kacamata politik, bukan sebuah hal yang tidak mungkin kepentingan-kepentingan individu ataupun golongan terealisasi dengan mudah. Ditambah lagi literasi masyarakat yang masih minim dibanyak bidang, memposisikan mereka menjadi kelompok serdadu yang siap mengikuti aba-aba komandannya.

                Menciptakan sebuah peradaban yang utopis adalah janji setiap orang-orang yang akan menjadi calon nomor satu. Hasrat mereka untuk menduduki posisi teratas dalam rantai makanan, tentu membutuhkan bantuan dari kelompok-kelompok komunal dalam jumlah banyak. Tidak heran kalimat-kalimat yang berhubungan dengan peningkatan kemakmuran sosial menjadi senjata paling berkompeten. Kelas sosial yang tidak merata dimasyarakat, membuat orang-orang tersebut tidak cukup bijak dalam mengambil hati mereka. Banyaknya jumlah masyarakat yang kurang literasi, menjadi suara yang disasar oleh mereka.

                 Pembentukan karakter sebagai seorang pemimpin yang berkharisma dan dicintai masyarakatnya memang hal yang sangat penting. Padahal pada kenyataaanya mereka hanya menggunakan topeng, dimana kahrisma hanya menjadi momok bagi masyarakat. Rasa paranoid para calon pemimpin tersebut, membuat mereka engga menyentuh individu yang teredukasi. Bukan gelar sarjana yang menjadi pakem orang teredukasi, melainkan pribadi yang kritis dan kreatif. Cara berkampanye mereka yang terlalu monoton sebenarnya sudah menjenuhkan orang-orang teredukasi dalam kurung waktu yang lama. Janji mereka yang terlalu konservatif tidak akan bisa memberikan sebuah perubahan. Elemen-elemen pemerintahan malah menjadi semakin korup, dan tatanan sosial akan selalu seperti itu. Terlalu banyak kepentinga politik golongan disana, serta fikiran untuk balik modal biaya kampanye.

                Memanfaatkan kelemahan masyarakat atas kebutuhan hidup, tidak sedikit dari mereka yang menyamarkan kampanye uang melalui cara yang halus. Padahal dari banyaknya biaya yang dikeluarkan ketika prosesi kampanye berlangsung, tidak ada hal yang menarik disana. Mungkin hanya sekedar mengadakan panggung dangdutan, serta bagi-bagi sembako. Kenyataannya pembentukan karakter pemimpin bukanlah dari event yang mereka selenggarakan, melainkan intelektualitas dalam membangun hubungan dengan masyarakat. Sejauh mana masyarakat dapat bertukar ide, melempar kritik, dan saling menghargai dalam sebuah forum terbuka.

Topik yang menjadi pembahasan pada forum terbuka tersebut baiknya, permasalahan yang common terjadi dalam sebuah lingkup daerah. Memang kampanye seperti itu terlihat sepele dan tidak banyak memberikan solusi, tapi dengan adanya interaktifitas dari golongan teredukasi forum tersebut akan menjadi media kampanye yang efektif.

Jika calon pemimpin tersebut banyak terlibat dalam forum seperti itu, maka character building mereka akah tercipta sendirinya. Tanpa perlu lagi mengadakan kampanye siluman. Masyarakat dengan kelas sosial yang kurang terliterasi pun, tidak menutup kemungkinan dapat melihat seperti apa calon-calon pemimpinnya.

Tentunya untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan bantuan dari berbagai pihak. Media massa dan pemerintah harus mampu menjadi wadah serta bekerjasama untuk merealisasikan hal ini. Selama ini kepentingan media massa terlalu pilih-pilih dalam menyelenggarakan sebuah debat terbuka. Sementara di pihak pemerintah, mereka harus mampu menjadi perangkat yang netral dalam mengawasi debat tersebut. Agar nantinya tidak ada lagi janji-janji (yang) konservatif.(*)