TangerangNews.com
Ketidaknyamanan Paruh Kedua 2013
| Selasa, 4 Juni 2013 | 23:19 | Dibaca : 1079
Bambang Soesatyo (tangerangnews / ist)
Bambang Soesatyo
Anggota Badan Anggaran DPR RI/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
HARGA sejumlah komoditas kebutuhan pokok dan harga bahan bangunan mulai merangkak naik. Inilah ekses atau kerusakan yang diakibatkan oleh berlarut-larutnya isu dan ketidakpastian harga baru bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Ketidaknyamanan hidup bakal menyergap masyarakat mulai paruh kedua tahun 2013, karena masih ada satu-dua faktor lagi yang akan memicu lonjakan harga barang dan tarif jasa.
Pemberlakuan harga baru BBM bersubsidi tentu saja akan menjadi faktor pertama pemicu lonjakan harga barang dan jasa. Kalau DPR menyetujui proposal kenaikan harga BBM bersubsidi yang diajukan pemerintah, bisa diperkirakan bahwa harga baru BBM bersubsidi mulai diberlakukan pada Juni 2013. Pemerintah mengusulkan kenaikan bensin premium sebesar Rp 2.000 per liter. Sedangkan kenaikan harga solar diusulkan Rp 1.000 per liter.
Sejarah membuktikan, kenaikan harga BBM selalu mengeskalasi persoalan yang tidak bisa dielakan oleh rakyat kebanyakan. Beban kehidupan menjadi bertambah berat, karena semua komoditas kebutuhan pokok tidak mudah diperoleh. Apalagi, pasar tidak mau berkompromi. Kalau biaya distribusi naik akibat naiknya harga BBM, menaikan harga komoditas kebutuhan pokok menjadi pilihan yang tak terhindarkan.
Faktor kedua pemicu kenaikan harga adalah momentum hari raya keagamaan. Pada pekan pertama Juli 2013, masyarakat mulai bersiap-siap menyongsong bulan suci Ramadhan, sebab Hari Raya Idul Fitri tahun ini jatuh pada 8 – 9 Agustus 2013. Pengalaman menunjukan bahwa satu atau dua pekan sebelum Puasa Ramadhan dimulai, pasar sudah mulai berancang-ancang mendongkrak harga kebutuhan pokok. Pasar berperilaku demikian karena berasumsi akan terjadi lonjakan permintaan selama masa persiapan perayaan Idul Fitri. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada momentum seperti itu, lonjakan harga sering kali menembus limit atau di luar batas kewajaran.
Koreksi terhadap harga kebutuhan pokok yang terbentuk dari momentum-momentum seperti itu seringkali butuh periode waktu yang lama atau berbulan-berbulan kemudian. Namun, untuk sisa waktu 2013, khususnya pasca Idul Fitri, sangat kecil kemungkinan bagi terjadinya koreksi harga kebutuhan pokok. Sebab, masih ada beberapa faktor yang berpotensi mengganggu kelancaran arus distribusi barang.
Faktor pertama adalah masih ada kemungkinan besar terjadinya lagi kelangkaan BBM bersubsidi akibat pencurian atau penyelundupan. Sedangkan faktor kedua adalah perhitungan terhadap dampak cuaca menjelang akhir 2013. Menuju tahun politik 2014, diperkirakan bahwa intensitas pencurian BBM bersubsidi akan meningkat. Pernah disinyalir bahwa pencurian BBM bersubsidi terkait dengan kegiatan pengumpulan dana untuk kegiatan Pemilu tahun mendatang.
Kalau pihak berwenang tidak bisa mencegah kemungkinan ini, akan terjadi kelangkaan BBM sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini. Kelangkaan BBM menyebabkan distribusi barang terganggu. Kalau berlarut-larut, harga aneka barang akan merangkak naik. Kalau faktor ini dikombinasikan dengan perkembangan cuaca buruk yang sering terjadi menjelang akhir tahun, sangat kecil kemungkinan terjadinya koreksi harga kebutuhan pokok hingga akhir 2013.
Oleh karena itulah diperkirakan bahwa masyarakat akan terperangkap ketidaknyamanan hidup sepanjang paruh kedua 2013. Warga kebanyakan, terutama keluarga-keluarga yang berpenghasilan pas-pasan, tidak bisa mengelak dari ketidaknyamanan itu. Menuntut kenaikan gaji di tempat kerja menjadi urusan yang tidak mudah, karena manajemen akan mementahkan tuntutan itu dengan argumen tentang naiknya biaya produksi pasca naiknya harga BBM.
Selain faktor harga kebutuhan pokok, ruang publik pasca kenaikan harga BBM pasti bising oleh perdebatan tentang berapa persisnya besaran penyesuaian tarif angkutan umum pada semua moda transportasi. Dari pengalaman tahun-tahun terdahulu, kebisingan itu menjadi berlarut-larut karena kelambanan pemerintah membuat keputusan atau kebijakan.
Fakta Kerusakan
Terlalu lama pemerintah ‘menggoreng’ isu kenaikan harga BBM bersubsidi. Warga kebanyakan pun bisa menilai dan merasakan langsung hal ini. Bahkan masyarakat di akar rumput pun menilai aneh karena pemerintah memelihara ketidakpastian ini sampai sekian lama. Berargumen bahwa kepastian harga baru BBM bersubsidi akan bisa ditetapkan pemerintah setelah DPR merespons proposal dana kompensasi adalah perilaku tidak bertanggungjawab. Sekali pun proposal dana kompensasi itu populis, tidak semestinya penekanan pada dana kompensasi itu menjadi sumber kerusakan yang merugikan puluhan hingga ratusan juta orang.
Pemerintah mestinya lebih menitikberatkan keprihatinannya terhadap kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh isu kenaikan harga BBM bersubsidi. Kerusakan itu tidak ditandai oleh kelangkaan BBM di banyak daerah, melainkan oleh kenaikan harga komoditas kebutuhan pokok.
Harga cabai, bawang merah maupun bawang putih mulai naik. Pekan lalu, harga bawang merah dan bawah putih naik memasuki kisaran Rp 50.000 per kilogram. Omzet para pedagang pun mulai turun sekitar 20 persen.
Sementara itu, harga beras jenis IR 3 mulai naik dari Rp 6.800 menjadi Rp 6.900. Jenis IR 2 naik dari Rp 7.000 menjadi Rp 7100, sementara jenis IR 1 naik dari Rp 7.200 menjadi Rp 7300. Untuk beras jenis super sudah melampaui level Rp 7.400.
Harga beberapa jenis bahan bangunan pun mulai bergerak dengan kecenderungan yang sama. Harga Cat, asbes dan pipa paralon merangkak naik sekitar lima hingga 10 persen. Para pedagang memastikan bahwa pergerakan harga itu disebabkan isu atau rencana pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi.
Sedangkan para pedagang komoditi kebutuhan pokok menilai, kenaikan harga saat ini lebih disebabkan oleh kelangkaan BBM yang berlarut-larut. Mereka gelisah oleh ketidakpastian sekarang ini. Mereka berharap pemerintah segera membuat kepastian guna mencegah aksi spekulan.
Terlalu mahal harga yang harus dibayar warga kebanyakan akibat ketidakpastian sekarang ini. Ketidakadilan ini terjadi karena pemerintah lebih memrioritaskan lolosnya proposal dana kompensasi untuk melayani 15,5 juta keluarga atau kelompok sasaran dari dana kompensasi itu. Dalam proposal itu, pemerintah berniat memberikan bantuan langsung sementara masyarakat (Balsem), menambah volume beras yang dibagikan kepada warga miskin (Raskin), bantuan untuk keluarga harapan dan bantuan kepada siswa/I miskin.
Rencananya, keluarga miskin akan menerima bantuan dari program Balsem sebesar Rp 150.000 per bulan selama lima bulan. Untuk Balsem, dialokasikan anggaran Rp 14 triliun. Sedangkan volume pembagian Raskin diperbesar menjadi 15 dari yang sebelumnya 12 kali.
Sangat jelas bahwa dana kompensasi kenaikan harga BBM untuk warga miskin tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak mungkin pemberian Balsem selama lima bulan bisa menyelesaikan persoalan warga miskin. Pertanyaannya, setelah lima bulan Balsem terpenuhi, sesudah itu apa? Membiarkan mereka kembali pada kemiskinan mereka dan pemerintah tidak peduli lagi karena sudah member Balsem selama lima bulan? Akal sehat kebanyakan orang sangat sulit memahami makna program-program instan seperti ini.Karenanya, muncul pandangan dana kompensasi itu akan dimanfaatkan untuk mendongkrak citra pemerintah.
Sayang, citra pemerintah akan sangat sulit diperbaiki karena mayoritas rakyat di negara ini akan menghadapi ketidaknyamanan hidup sepanjang paruh kedua 2013. Harga akan meroket dan gerak inflasi tak terkendalikan.
Kalau seperti ini kenyataannya, apa makna pertumbuhan ekonomi yang dibangga-banggakan itu? Setelah subsidi BBM pun dipangkas dan harga kebutuhan pokok meroket nantinya, akan semakin sulit bagi rakyat kebanyakan memahami makna atau nilai tambah pertumbuhan ekonomi negara yang tinggi itu.