TANGERANGNEWS.com-Tepat 11 tahun silam hari ini, Kota Tangerang Selatan dihadapkan dengan kenyataan pahit, yang kini dikenal sebagai tragedi jebolnya Situ Gintung. Sebuah situ yang terletak di Kelurahan Cireundeu, Ciputat Timur, Tangerang Selatan.
Jumat, 27 Maret 2009, saat hari masih menunjukkan pagi buta, bencana itu datang. Dua juta meter kubik air yang tertampung di situs warisan Belanda itu tumpah, memporakporandakan ratusan bangunan di sekitar dan ratusan rumah warga yang masih tertidur pulas.
Akibatnya, air deras yang menhantam dan menghempas perumahan warga itu menelan korban. Setidaknya terdapat 100 korban tewas dan ratusan lainnya hilang.
Kisah Saksi Mata saat Kejadian
Saat menyambangi situ yang memiliki luas sekitar 21,4 hektare itu, TangerangNews bertemu Adjie Bhongas, 47, pria yang menjadi saksi saat air menghantam ratusan rumah yang terletak di sekitarnya.
Dirinya pun duduk di lokasi yang sama saat 11 tahun lalu. Sebelum kejadian itu, dirinya sedang memancing di situ Gintung sekitar pukul 24.00 WIB.
Ketika itu, Adjie merasa heran dengan perbedaan hawa saat itu. Dia merasakan firasat ada yang tidak beres, namun dia tak menghiraukannya.
"Hampir setiap malam saya di sini. Saya juga kan orang sini asli. Nah malam itu hawanya beda. Sepi, firasat saya aneh. Tapi saya tak tahu apa," kata Adjie kepada TangerangNews, Kamis (26/3/2020) sore.
Sampai akhirnya ketika pukul 02.00 WIB, Adjie bersama temannya berjalan menyusuri jalan setapak di bendungan Situ Gintung itu. Saat itulah, Adjie semakin yakin dengan firasat buruk.
Tiba-tiba, Ia melihat bangunan tanggul terlihat rusak. Bangunan tanggul mulai jebol, dan mengeluarkan air yang saat itu sudah melebihi kapasitas penampungan.
Ia bersama temannya pun langsung berlari, bergegas berusaha membangunkan warga yang saat itu terlelap tidur.
"Itu tanggul longsor dekitar ketinggian 25 meter. Saya langsung lari, saya berteriak. 'Bangun bangun, bangun! Mau ada bencana, bangun'. Saya teriakin terus. Tapi warga di sini tak percaya. Dia bilang itu cuma air genangan biasa," tututrnya.
Dia tak menghiraukan warga yang tak percaya itu, Adjie pun lanjut membangunkan warga lainnya. Sesekali sambil melihat bangunan tanggul itu, hingga sekitar pukul 04.00 WIB.
Hingga akhirnya, kejadian itu terjadi. Tak dilupakan sedikitpun dari benaknya. Dengan kedua bola matanya, Adjie menyaksikan bencana jebolnya tanggul Situ Gintung tersebut, tepat saat azan subuh berkumandang.
"Jebol itu itu semua. Tepat waktu azan berkumandangan, 'Hayya Alassholaah'. Habis itu semua. Jebol tanggulnya. Allah punya kuasa, begitu azan masih berkumandang, air enggak ke masjid. Tapi saat azan berhenti, baru kena itu masjidnya," tutur Adjie.
Ia menuturkan bahwa begitu derasnya air itu keluar, seolah marah. Menghancurkan bangunan tanggul dan menyapu perumahan warga dengan begitu kencangnya.
Bahkan, jalanan pun sampai terbelah. Adjie yang saat itu kembali naik dan berada di sekitar tanggul, sempat hampir menjadi korban, akibat jalanan yang terbelah.
"Jadi saya dikejar tanah. Saya tak tahu jalanan terbelah. Jalan tersebut lebar terbelah dengan cepat," tambahnya.
Akibat kejadian itu, nyawa ratusan orang melayang, ratusan orang menghilang hingga saat ini. Bangunan hancur, serta kendaraan warga pun ikut tersapu derasnya air.
Meski begitu, Adjie tak merasakan trauma sedikitpun. Menurutnya, kejadian itu hanyalah bencana, yang dapat dijadikan pelajaran.
Kondisi Tanggul Sebelum Situ Gintung Jebol
Menurutnya, kondisi tanggul memang sudah rusak. Sudah banyak retakan pada bangunan tanggul.
Ia menyebut, telah berulang kali ia sampaikan kerusakan itu kepada pemerintah daerah. Harapannya untuk segera diperbaiki.
"Itu sudah rusah. Bangunan dulu sudah retak. Saya ingat dulu sudah menyurati pemerintah daerah (saat itu masih Pemerintah Kabupaten Tangerang). Dari 2005 dulu. Ingat banget saya dulu sampai Rp15 miliar. Saya ngomong gini apa adanya. Tapi tak tanggap. Tak pernah dikerjakan" ucapnya dengan nada keras.
Bencana itu pun akhirnya tak dapat dibendung, terlebih ketika itu terjadi cuaca ekstrem. Hujan dengan kapasitas tinggi menghujani Situ Gintung sejak Kamis sore, sehari sebelum kejadian.
Sehingga, volume air lebih dari 2,1 juta meter kubik melampaui kapasitas maksimal dari waduk Situ Gintung itu.
Wajah Baru Situ Gintung
Sebelas tahun berlalu, kini wajah Situ Gintung telah berubah. Dibangun sejak tahun 2011 hingga 2012, Situ Gintung disulap menjadi tempat yang asri. Bangunan tanggul yang baru, akses jalan bagi warga yang rapih, pohon rindang di sekitar Situ, jadi pemandangan Situ Gintung yang baru.
Keindahannya, menjadi daya tarik bagi bagi sejumlah orang untuk datang. Baik untuk sekedar bermain, berfoto, atau pun berolahraga di sekitarnya. Sehingga, Situ Gintung pun ramai di setiap pagi, hingga malam hari. Namun sayangnya, keramaian itu sedikit berkurang terlebih saat malam hari. Sebab, lampu penerangan yang dipasang, tidak menyala.
"Lampu tuh tak ada yang nyala. Dari puluhan lampu, paling satu yang nyala. Jadi sepi sekarang seram. Takutnya malah jadi tempat maksiat," tutur Adjie.
Ia berharap agar pemerintah, baik daerah, provinsi, ataupun pusat dapat peduli dengan keberadaan Situ Gintung.
"Ya saya berharap itu aja. Dulu rusak, sudah dibenahi, terus sekarang tak dirawat lagi. Kan sayang. Saya berharap agar pemerintah dapat peduli dengan Situ Gintung ini. Ini kan juga buat masyarakat," pungkas Adjie.
Munculnya Shaleh MT, Airin, Rahmat Salam, Dendy Pryandana, Eddy Adolf Malonda & Ahadi
Peristiwa jebolnya Situ Gintung menjadi tonggak awal kiprah beberapa nama tokoh yang kini duduk sebagai pejabat dan bahkan sudah ada yang pensiun. Shaleh MT mantan Pjs Wali Kota Tangsel menjadi orang nomor satu yang dicari media saat itu. Airin Rachmi Diany saat itu masih menjabat sebagai Ketua PMI Kota Tangsel, kala itu tengah bersaing di Pilkada pertama kalinya di Tangsel dengan melawan Arsid atau Andre Taulany.
Rahmat Salam sendiri sebelumnya menjabat sebagai Ketua Posko Utama Bencana Situ Gintung di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UMJ) Kota Tangerang Selatan. Sedangkan Almarhum Dendy Pryandana ketika itu menjadi Kepala Dinas Bangunan Dan Penataan Ruang. Eddy Adolf Malonda adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum,. Ahadi sendiri menjadi sebagai Asda I Bidang Pemerintahan dan Kestra.