TANGERANGNEWS.com-Akademisi Universitas Pamulang (Unpam) menyoroti maraknya kasus kekerasan seksual anak yang terjadi di Kota Tangerang Selatan (Tangsel).
Halimah Humayrah Tuanaya, Dosen Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Fakultas Hukum Unpam menyebut saat ini ada sebanyak 63 kasus tercatat di UPTD PPA.
Adapun jumlah korban bisa lebih dari satu anak dari tiap kasus.
Karena itu, ia menilai saat ini Tangsel dalam kondisi darurat kekerasan seksual anak. Predikat Kota Layak Anak pun tidak lebih sebatas formalitas saja.
"Kota Tangsel tidak lagi pantas menyandang statusnya sebagai Kota Layak Anak. Justru sebaliknya, menjadi kota yang tidak ramah, bahkan berbahaya bagi anak-anak," ujarnya, Kamis 3 Oktober 2024.
Status berbahaya bagi anak-anak ini tidak hanya karena kekerasan seksual, tetapi juga penculikan yang belakangan di alami sejumlah anak di Kota Tangsel.
Menurut Halimah, semestinya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melibatkan akademisi, aktivis perlindungan anak setempat, dalam melakukan penilaian terhadap suatu daerah, untuk menentukan predikatnya sebagai Kota Layak Anak.
"Jadi, jelas sekali Predikat Kota Layak Anak tidak lebih sebatas formalitas," tegasnya.
Dijelaskan Halimah, dibutuhkan pendekatan komprehensif dan terkoordinasi menyikapi maraknya kekerasan seksual anak.
"Diperlukan edukasi publik tentang tindak pidana kekerasan seksual secara terus menerus agar publik terus waspada, calon pelaku mengurungkan niatnya melakukan kejahatan dan orang yang mengalami, melihat, atau mendengar kekerasan seksual berani untuk melaporkan ke aparat penegak hukum," katanya.
Secara khusus, pemerintah pusat perlu segera mengimplementasikan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan penguatan lembaga layanan bagi korban.
UPTD PPA harus segera melakukan perbaikan dengan membuat layanan sistem satu atap (one stop service).
"Jadi jika ada korban mengadu, maka cukup di UPTD PPA saja, petugas kesehatan, psikolog, polisi yang datang dan dengan segera ke UPTD PPA untuk melayani dan memenuhi segala kebutuhan korban," ujarnya.
Masih dikatakan Halimah, aparat Kepolisian harus mengacu juga pada UU TPKS dalam melakukan penanganan kekerasan seksual.
Polisi wajib berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sehingga korban yang membutuhkan perlindungan bisa dilindungi.
LPSK juga akan menghitung besarnya restitusi yang bisa korban mintakan kepada pelaku.
Hak-hak seperti hak pemulihan, restitusi, kompensasi, rehabilitasi, serta hak-hak lainnya harus menjadi fokus dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
"Jadi bukan melakukan penghukuman dengan mengkebiri pelaku. Terlebih masalah hukuman kebiri ini sudah menjadi kontroversi sejak UU Perlindungan Anak memuat hukuman kebiri, sehingga penerapannya perlu telaah yang lebih komprehensif," papar Halimah.