TANGERANGNEWS—Kasus perselisihan perburuhan atau yang kini sering disebut perselisihan hubungan industrial di banyak daerah di Indonesia terus saja terjadi. Bukannya berkurang, kasus yang umumnya dipicu oleh masalah kesejahteraan buruh ini justru makin banyak dan kompleks. Apalagi di daerah yang termasuk daerah jasa dan industri, hampir setiap hari diwarnai unjuk rasa kalangan buruh.
Tak mau terus terjebak dan larut dalam persoalan yang sama, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnaketrans) Kota Tangerang Selatan mengambil pendekatan baru dalam menyelesaikan kasus perburuhan. Hal ini sebagai bagian dari evaluasi atas penyelesaian kasus perselisihan perburuhan selama ini, yang dinilai tidak memuaskan kedua belah pihak.
Sesuai dengan UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ada empat penyelesaian kasus perselisihan perburuhan yang bisa ditempuh. Yaitu melalui jalur bipartite atau permusyawaratan antara pihak buruh dan pengusaha, penyelesaian melalui jalur mediasi, penyelesaian jalur konsiliasi dan terakhir penyelesaian melalui arbitrase.
“Tapi dari fakta di lapangan, kita sering lihat penyelesaian perselisihan itu tidak memuaskan kedua belah pihak. Jika buruh puas, pengusaha tidak puas, begitu juga sebaliknya,” kata Sekretaris Dinsosnakertrans Kota Tangerang Selatan Dewanto, Selasa (28/2/2012).
Menurut Dewanto, timbulnya ketidakpuasan itu karena dipengaruhi oleh praduga atau kecurigaan di kalangan keduanya. Sehingga apapun yang terjadi, maka kemungkinan besar ujung-ujungnya adalah ketidakpuasan.
“Kalau sudah muncul praduga-praduga, maka yang ada adalah persepsi negatif. Dan ini jika dibiarkan akan merugikan semuanya. Oleh karena itu, kita menilai penyelesaian kasus perburuhan yang sekarang itu kurang tepat dan harus dicari terobosan baru sebagai solusinya,”tandas dia.
Terobosan baru yang dimaksud, aku Dewanto, saat ini sedang disusun konsepnya. Menurut dia, konsep ini belum digunakan oleh daerah lain di Indonesia. Oleh karena itu dia berharap, jika konsep ini diterapkan di Tangsel, kota pecahan dari Kabupaten Tangerang ini bisa jadi pilot project dalam hal penyelesaian kasus perburuhan di Indonesia.
Libatkan Buruh Sebagai Pemegang Saham
Pada intinya, kata Dewanto konsep yang sedang disusun itu adalah membangun hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan. Bagaimana caranya? Yaitu dengan kesediaan perusahaan melibatkan kalangan buruh sebagai pemegang saham di perusahaan di mana buruh bekerja. Jumlahnya tidak harus besar hanya berkisar 1 hingga 1,5 persen. Pihak buruh yang duduk sebagai pemegang saham bukanlah serikat pekerja, melainkan koperasi yang didirikan oleh buruh.
“Karena kita tahu sekarang serikat buruh banyak. Makanya yang duduk sebagai pemegang saham adalah koperasi,” kata Dewanto.
Dengan adanya keterlibatan buruh sebagai pemegang saham, banyak manfaat yang diperolah. Yang pertama adalah hilangnya praduga di kalangan buruh terhadap kondisi perusahaan. Menurut Dewanto, jika buruh ikut memegang saham, maka setiap ada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) setiap tahun, maka buruh akan ikut. Dari RUPS itu akan diketahui bagaimana sesungguhnya kondisi perusahaan.
Jika memang untung, maka merupakan sebuah kewajaran jika kesejahteraan dan hak-hak buruh diperhatikan. Misalnya Upah Minimum Kota (UMK) yang harus diberikan, bahkan tunjangan lain. Tapi sebaliknya, jika kondisi perusahaan tidak untung atau malah rugi, maka perusahaan juga berhak tidak membayar gaji sesuai UMK. Malah bisa jadi nanti buruh justru yang minta jangan dibayar sesuai UMK, karena mereka memang benar-benar tahu kondisi perusahaan.
“Tapi kalau sekarang tidak begitu. Ada perusahaan yang mengaku rugi, tapi ternyata produksi jalan terus. Bahkan order juga nambah. Ini yang menimbulakn kecurigaan-kecurigaan dari buruh,” tandas Mantan Sekretaris Disperindag Kota Tangsel ini.
Keuntungan yang kedua adalah rasa memiliki para buruh terhadap perusahaan. Jangankan bertindak yang merugikan perusahaan, jika sudah memiliki rasa memiliki, buruh justru akan ikut serta merawat aset perusahaan. Karena mereka sadar bahwa asset perusahaan adalah aset mereka.
“Sedangkan keuntungan yang lainnya adalah potensi meningkatnya kesejahteraan buruh. Maksudnya jika perusahaan untung, maka koperasi yang ikut memegang saham akan kebagian deviden (keuntungan). Dan tentu saja hasil keuntungan dari koperasi ujung-ujungnya akan dibagikan kepada anggota yang tak lain buruh itu sendiri,” tandas Dewanto.
Silaturahmi ke Perusahaan
Dewanto menambahkan, untuk memuluskan rencana itu, pihaknya sudah membentuk tim. Saat ini tim tersebut sudah mulai bekerja. Sebagai tahap awal, pihaknya akan melakukan silaturahmi ke perusahaan. Diperkirakan saat ini ada 2.000 perusahaan yang beroperasi di Kota Tangsel dengan skala kecil hingga besar. Di momentum silaturahmi itulah, kata Dewanto, ia akan memaparkan rencananya itu.
Sebetulnya, tambah mantan pejabat Kabupateb Tangerang ini, dalam momen silaturahmi itu bukan hanya tawaran penyelesaian kasus perburuhan yang dipaparkan kepada pengusaha. Ada tiga program lainnya yang juga sangat penting untuk diterapkan. Yaitu soal pemanfaatan dana CSR kepada masyarakat yang lebih tepat sasaran, sosialisasi penerapan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) dan program pemagangan kelompok masyarakat usia produktif di perusahaan-perusahaan.
“Tapi itu semua kita awali dengan silaturahmi. Mudah-mudahan dalam waktu dekat silaturahmi bisa kita lakukan. Sebab kita yakin, jika kita silaturahmi kita akan kenal lebih dekat dengan perusahaan atau pemilik perusahaan. Jika kita sudah kenal dekat, maka Insya Allah program-program lainnya bisa kita laksanakana,” tandas Dewanto yakin. (FAW/ADV)