Oleh : Abdul MUHARI, PhD*
Pakar Tsunami Kementerian Kelautan dan Perikanan
Chairman Tsunami Working Group, Sentinel Asia.
HARI ini genap 11 tahun setelah kejadian bencana yang menelan korban jiwa dengan jumlah terbesar sepanjang sejarah modern bangsa Indonesia, tsunami Aceh pada 26 Desember 2004.
Setiap tahun pula (walaupun tidak diperingati secara nasional) di beberapa daerah, khususnya di provinsi serambi Mekkah, kejadian tersebut diperingati untuk menjadi momentum meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi potensi kejadian serupa di masa depan.
Seyogyanya, peringatan suatu kejadian bencana harus diisi dengan dua hal. Pertama, evaluasi mengenai hal-hal yang telah dilakukan dalam rekonstruksi paska bencana dan (yang terpenting) sejauh mana kondisi paska bencana tersebut lebih baik dalam konteks mitigasi bencana dibandingkan dengan kondisi sebelum bencana. Yang kedua adalah bagaimana melanjutkan dan menyampaikan pembelajaran dari kejadian bencana tersebut kepada generasi selanjutnya.
Momentum Peningkatan Kesiapsiagaan
Jika melihat pembelajaran pada kejadian tsunami Jepang pada 2011, kita tentu ingin tahu bagaimana warga Jepang mempersiapkan diri menghadapi bencana terutama tsunami. Bagaimana bisa tsunami yang terhitung sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Jepang tersebut ‘hanya’ merenggut korban jiwa 20,000 jiwa atau kurang dari 10% dari total korban jiwa akibat tsunami Aceh tahun 2004 yang mencapai 250,000 jiwa?
Sejak tahun 1960, pemerintah Jepang menetapkan tanggal 1 September sebagai Hari Penanggulangan Bencana Nasional. Tanggal tersebut diambil dari waktu kejadian bencana gempa besar Tokyo tanggal 1 September 1923. Bencana itu menelan korban total 150,000 orang akibat gempa dan kebakaran yang menyusul sesudahnya.
Peristiwa itu merupakan salah satu yang terburuk dalam sejarah Jepang. Pemerintah Jepang menetapkan hari terjadinya bencana tersebut sebagai hari penanggulangan bencana nasional. Setiap tahun, peringatan diisi dengan latihan evakuasi bencana dan latihan personil dan peralatan dalam pelaksanaan tanggap darurat.
Kegiatan tersebut menjadi basis peningkatan kesiapsiagaan masyarakat secara keseluruhan. Murid dan mahasiswa di sekolah dan universitas melaksanakan pelatihan evakuasi, dan pemeriksaan peralatan kondisi darurat di sekolah dan universitas masing-masing.
Tidak hanya murid dan mahasiswa, keseluruhan guru, dosen dan pegawai ikut dalam pelatihan tersebut. Demikian juga di kantor-kantor, pabrik, dan institusi lainnya.
Masing-masing melakukan pelatihan evakuasi dan pengecekan rutin peralatan tanggap darurat di lingkungan mereka masing-masing agar selalu dalam kondisi baik dan siap untuk digunakan kapan saja bencana datang.
Untuk masyarakat umum dan ibu rumah tangga, pemerintah kota melakukan simulasi evakuasi dan edukasi mengenai langkah-langkah tanggap darurat yang akan dilaksanakan jika terjadi bencana.
Meskipun jumlah peserta kegiatan tersebut berfluktuasi setiap tahunnya, tetapi secara umum kegiatan yang dilaksanakan secara nasional dengan basis kegiatan di tingkat kota ini mampu secara bertahap meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat.
Yang terpenting, kegiatan bisa menjadi jembatan informasi lintas generasi mengenai bencana dan bagaimana mengurangi potensi dampaknya di masa depan.
Inisiatif Hari Tsunami Dunia
Beranjak dari pemahaman yang telah dilaksanakan bertahun-tahun di negeri sendiri, pemerintah Jepang paska tsunami tahun 2011 lalu merasa perlu untuk menyebarluaskan pembelajaran serupa untuk peningkatan kesiapsiagaan terhadap bencana tsunami di tingkat global.
Atas inisiatif Jepang dan didukung oleh lebih dari 140 negara, Sidang Umum Komite Kedua Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 5 Desember 2015 lalu menetapkan tanggal 5 November sebagai Hari Kesiapsiagaan Tsunami Dunia.
Lalu kenapa tanggap 5 November? Kenapa bukan tanggal 11 Maret yang merupakan tanggal terjadinya tsunami besar Jepang tahun 2011 lalu?
Pada tanggal 5 November 1854, Prefektur Wakayama sekitar 400 km sebelah Barat Tokyo dihantam tsunami yang dibangkitkan oleh gempa dengan kekuatan 8.4 berpusat di lepas pantai prefektur tersebut.
Gempa besar itu diikuti oleh tsunami dan kebakaran hebat yang merusak dan menghancurkan paling tidak 65,000 bangunan dan menimbulkan korban jiwa sedikitnya 30,000 orang. Akan tetapi, ada satu aksi yang sangat heroik pada saat bencana besar terjadi yang sampai saat ini dikenal dengan kisah ‘Inamura no hi’.
Aksi tersebut adalah upaya dari seorang warga desa di Kota Hirogawa bernama Goryo Hamaguchi yang kebetulan sedang berada di atas bukit di dekat gudang penyimpanan beras desa pada saat tsunami terlihat mendekati pantai.
Hamaguchi berpikir bahwa gelombang yang sangat besar tersebut pasti akan membawa bencana besar di desa yang terletak di pesisir pantai, sehingga Hamaguchi harus secepat mungkin memberitahu dan mengevakuasi warga desa ke dataran yang lebih tinggi.
Hamaguchi pada saat yang sangat genting tersebut mengambil keputusan yang mungkin sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya; dia membakar gudang-gudang penyimpanan beras di atas bukit dan dengan seketika api yang sangat besar menyala-nyala dengan asap tebal membubung ke angkasa.
Warga desa yang baru saja merasakan gempa begitu melihat gudang penyimpanan beras terbakar langsung berhamburan lari ke atas bukit untuk memadamkan api.
Hampir semua masyarakat berlarian ke atas bukit untuk bersama-sama membantu upaya pemadaman api yang membakar gudang beras mereka. Pada saat masyarakat sampai diatas bukit, Hamaguchi mengatakan bahwa dia sengaja membakar gudang penyimpanan beras tersebut sebagai upaya agar masyarakat segera evakuasi ke tempat yang lebih tinggi. Tidak beberapa lama kemudian masyarakat desa melihat gelombang tsunami meluluhlantakkan desa mereka dari perbukitan.
Hamaguchi yang berhasil menyelamatkan hampir seluruh penduduk desa kemudian dengan kesadaran dan menggunakan uangnya sendiri membangun tanggul penahan gelombang di sepanjang pantai desa. Tanggul itu kemudian berguna untuk membantu mengurangi dampak tsunami yang kembali menghantam desa tersebut pada tahun 1946 atau 92 tahun setelahnya.
Sampai saat ini, di Kota Hirogawa selalu dilakukan festival tsunami untuk memperingati kepahlawanan Hamaguchi dan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat untuk menghadapi tsunami. Cerita evakuasi yang berhasil dan kepahlawanan seorang Hamaguchi inilah yang kemudian dijadikan teladan untuk membangun kesiapsiagaan terhadap bencana tsunami di seluruh Jepang dan diharapkan dapat menjadi teladan dalam membangun kewaspadaan di tingkat global.
26 Desember untuk Indonesia
Jika Jepang punya ‘Inamura no hi’ Indonesia juga memiliki cerita sukses evakuasi tsunami yang berakar pada pengetahuan yang diturunkan lintas generasi yakni smong.
Meskipun berada pada lokasi yang sangat dekat dengan pusat gempa dan dihantam tsunami dalam waktu kurang dari setengah jam, hanya 6 orang yang tewas di Pulau Simelue dari total sekitar 8,000 orang penduduk yang sebenarnya berpotensi terkena dampak tsunami.
Oleh karenanya tentu juga tidak berlebihan jika 26 Desember ditetapkan sebagai hari kesiapsiagaan bencana/tsunami nasional. Tentunya bukan sekedar untuk seremoni tetapi untuk dimaknai esensinya dalam menyampaikan pesan kesiapsiagaan untuk generasi sekarang dan masa depan.