TANGERANGNEWS.com-Sosok birokrat senior, Komarudin yang saat ini menjabat sebagai Kepala Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Banten, belakangan ini kerap mencuat dan mendapat perhatian publik.
Terutama dalam sejumlah isu-isu penting seputar Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkup Provinsi Banten.
Termasuk saat masyarakat Banten dihebohkan dengan isu korupsi masker yang berbuntut pada pengunduran diri sebanyak 20 pejabat dalam tubuh Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten, pada Mei silam.
Sosok Komarudin menjadi tokoh yang berani memunculkan dirinya di hadapan publik dan media dengan sejumlah pernyataannya yang berhasil menjernihkan asumsi publik.
Hal itu pun kembali terulang, ketika masyarakat lagi-lagi dihebohkan dengan kabar kemunduran Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten.
Lagi-lagi, sosok Komarudin lah yang saat itu kembali mengendalikan situasi. Ia menjadi satu-satunya pejabat yang mampu memberikan komentar kepada awak media guna menepis sejumlah isu miring yang berkembang.
Namun siapa sangka, di balik kesuksesannya itu, dahulu Komarudin harus mati-matian berjuang dari titik terbawah.
Jatuh bangun, merupakan makanan sehari-hari baginya. Terbilang sejak ia masih berusia belia, hingga sukses di tanah Banten seperti sekarang ini.
Pendidikan
Komarudin lahir di desa terpencil, tepatnya di Kaki Gunung Lawu, Magetan, 21 Juli 1970 silam. Ia dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana.
Ayahnya, saat itu hanya bekerja sebagai penjaga sekolah. Sementara ibunya, mengurus seluruh keperluan rumah tangga. Namun, dari pekerjaan ayahnya itulah, Komarudin memulai asa-nya.
Sejak kecil, ia sangat gemar membaca. Hobinya itu pun terus ia jalani sepanjang waktu, dengan memanfaatkan pekerjaan sang ayah. Setiap hari, ia datang ke sekolah lebih awal. Sedangkan pulang, selalu lebih akhir.
Sembari membantu ayahnya, ia selalu manfaatkan waktu untuk menengok jendela dunia. Berbagai buku yang disimpan di perpustakaan sekolah, ludes dibaca olehnya.
Ia membuktikan, keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya. Kekurangan pun bukanlah menjadi halangan baginya untuk menoreh prestasi.
Sejak bangku Sekolah Dasar saja, nilai Komarudin selalu menjadi yang terbaik. Hingga, ia pernah mendapat nilai tertinggi saat Ujian Akhir Nasional SMP se-wilayah Kecamatan.
Prestasi di bidang akademik itu pun ternyata mengantarkan dirinya untuk diterima di SMA 1, yang notabene-nya merupakan sekolah unggulan.
“Tidak mudah, karena rata-rata siswa di situ anak pejabat,” ujar Komar.
Setelah tamat SMA, halangan kembali dihadapi oleh Komarudin yang saat itu bertekad kuat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
"Hal mustahil menghantui saya. 'Bagaimana caranya? Sementara orang tuanya, karena keterbatasan ekonomi, jauh hari sudah berpesan, hanya sanggup membiayai sampai SMA, selebihnya cari sendiri," tuturnya.
Namun lagi-lagi, hal itu tak sama sekali menghalanginya. Justru, ia menjadikan rintangan itu menjadi batu loncatan.
Jawaban atas pertanyaan mustahil itu, bukan hanya mengantarkan Komarudin ke perguruan tinggi saja. Tetapi juga, menentukan masa depan dalam perjalanan hidupnya.
Ia tak patah arang. Dengan prestasinya itu, ia mencari pendidikan lanjut yang tak mengharuskannya mengeluarkan sepeserpun rupiah.
Ia sadar, saat itu satu-satunya alternatif yang tersedia hanyalah dengan mengikuti tes sekolah ikatan dinas.
Pagi, siang, dan sore ia manfaatkan waktu untuk belajar. Hingga akhirnya, Komarudin berhasil diterima di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Bandung.
“Menjadi PNS, menjadi birokrat sebenarnya bukan cita-cita. Yang utama waktu itu, yang penting saya bisa sekolah. Saya cinta Ilmu pengetahuan. Saya harus melanjutkan sekolah. Ternyata, saya dapat dua-duanya (ilmu dan jabatan),” terangnya.
Usai lulus pada tahun 1993, Komarudin yang sudah beranjak dewasa lantas melanjutkan pendidikannya pada jenjang perkuliahan di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta.
Saat itu ia mengambil program S1 Jurusan Manajemen Pemerintahan. Ia lulu