Reporter : Rangga A Zuliansyah
Diusianya yang terbilang muda, Darussalam Jagad Syahdana, kontributor Global TV Tangerang akan meluncurkan buku berjudul “Korupsi Kebebasan Kebebasan Terkorupsi”. Sesuai dengan dunianya, buku tersebut berisi tentang catatan dan pemikirannya selama dia terjun di dunia jurnalistik.
“Tidak ada yang baru dalam buku ini, opininya sudah banyak kita temui. Ini bisa dikatakan sekumpulan catatan yang dibukukan. Sebuah entry point untuk perjuangan teman-teman pers,” ujarnya, Jumat (7/12) kepada TangerangNews.com.
Padahal tak mudah menjadi kontributor yang biasa sibuk dikejar deadline untuk meluangkan waktu menulis, tetapi hal itu tidak berlaku bagi pria kelahiran Tasikmalaya, 12 Desember 1981 ini untuk tetap berkarya. Menurutnya, karena masih aktif melakukan peliputan di lapangan, justru hal itu mempermudahnya membuat berkarya.
“Justru itu lebih mudah menemukan fakta dari keseharian di lapangan. Kesibukan malah membantu untuk menyusun bahan buku,” papar mantan Wakil Ketua Pokja Wartawan Harian Tangerang itu.
Pria yang akrab disapa Darus itu menambahkan, buku tersebut juga menjelaskan tentang kontradiksi kebebasan pers. Dimana satu sisi masyarakat pers di Indonesia yang getol meneriakkan tentang kebebasan, namun di sisi lain muncul juga ancaman dari kebebasan itu sendiri.
“Hal itu berampak pada penyalahgunaan kebebasan. Berdasarkan data, di tahun 2011 ada sekitar 500 pengaduan kepada dewan pers yang sebagian besarnya adalah pelanggaran etika pers itu sendiri,” katanya.
Selain itu, ayah dari dua anak bernama Galuh Manik Gada Parwita dan Fajariani Pratidina ini mengatakan, tingkat kekerasan pers di Indonesia terbilang tinggi.
Berdasarkan kajian reporter sans frontiers (RSF) lembaga pemeringkat kebebasan pers di dunia, Indonesia masuk peringkat 146 dari 179 negara yang diteliti.
Dan di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat kebebasan pers ke 9 dari 12 negara. “Artinya ancaman kebebasan pers di Indonesia sangat mengkhawatirkan,” tukasnya.
Sehingga, dengan dibuatnya buku ini, aku Darus, opini-opini lama dapat disegarkan kembali. Dan dia berharap dapat mendobrak hal yang tabu di lingkungan masyarakat pers.
Misalnya, terkait pekerjaan pers yang digolongkan sebagai buruh, pekerja atau profesional.
“Kalau pers adalah pekerjaan professional, kenapa banyak gaji pers yang masih di bawah standart, jauh dari UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten). Dibilang buruh, tapi untuk menjadi pers butuh keahlian khusus. Hal ini juga akan dikupas secara terbuka,” tutup anak ke tiga dari tujuh bersaudara, pasangan Alm. Rukmana dan Dedah Djubaedah ini.