TANGERANGNEWS.com-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan bioetanol generari dua (G2) yang terbuat dari limbah organik. Hal tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan sustainable development goals (SDGs) atau pembangunan berkelanjutan.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala P2 Kimia LIPI Raden Arthur Ario Lelono menjelaskan, Indonesia memiliki potensi biomassa Iignoselulosa –suatu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan bakar– yang banyak. Lignoselulosa itu yang kemudian dapat diolah dan dijadikan Bioetanol G2.
"Bahan bakar bioetanol G2 bisa dimanfaatkan sebagai pengganti bahan bakar yang bersumber dari fosil," terangnya dalam diskusi terpumpun (FGD), Senin (18/11/2019) di Hotel Santika BSD, Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel).
Ia menerangkan, pihaknya membuat Bioetanol G2 dari beberapa bahan limbah, atau bahan yang sudah tak digunakan lagi.
"Seperti dari tandan kosong kelapa sawit, bonggol jagung, eceng gondok dan beberapa bahan yang mengandung selulosa tinggi," tuturnya.
Menurutnya, bahan bakar bioetanol G2 memiliki keunggulan dari bahan bakar berbahan fosil.
"Yang jelas dengan adanya bioetanol ini, emisi ini akan berkurang. Tidak seperti bahan bakar berbahan fosil," terangnya.
Diketahui emisi, yaitu gas buangan atau sisa hasil pembakaran bahan bakar di dalam mesin pembakaran yang mengandung polutan dan dapat mempertinggi tingkat pencemaran udara.
#GOOGLE_ADS#
Baca Juga :
Namun, kata Arthur, kendalanya dalam pengembangan energi bioetanol G2 ini adalah nilai ekonominya.
"Kita tahu regulasi bioetanol belum banyak, masih dikelompokkan barang yang terkena cukai. Tentu mempengaruhi harga jual," katanya.
Dilanjutkan Arthur, tentu permasalahan itu membutuhkan peran pemerintah.
"Misal pertamax anggaplah Rp9 ribu, tapi produksi kita masih Rp10 ribu. Tentu perlu kejelasan pemerintah melalui subsidi. Kalau emang tujuan kita untuk mengganti," tegasnya.
Atas hal itu, ia mengharapkan agar pemerintah dapat mengendorse trobosannya itu.
"Alternatif ini diharapkan menjadi terobosan. Yang jelas bahwa selama demand (permintaan) di market ada, kita sudah ada tekonologinya. Yang menjadi tantangan adalah mengoptimalkan daya ekonomis. Caranya dua, ada optimalisasi teknologi dan peran pemerintah melalui subsidi. Nah kita harus ketemu, antara pemerintah, industri dan kita sebagai peneliti," pungkasnya.(RMI/HRU)