Oleh: Ni’matul Afiah Ummu Fatiya, Pemerhati Kebijakan Publik
TANGERANGNEWS.com-Baru-baru ini, Presiden RI Prabowo Subianto mengakui bahwa tingkat korupsi di negeri ini sangat mengkhawatirkan.
Hal itu diungkapkannya pada forum World Government Summit 2025 di Dubai, Uni Emirat Arab secara virtual pada Kamis, 13 Ferbuari 2025.
Betul sekali Pak, kasus korupsi di Indonesia memang sudah sangat mengkhawatirkan, bahkan sudah sangat kronis menjangkiti hampir seluruh lembaga dan seluruh level jabatan yang ada, termasuk lembaga yang menangani korupsi itu sendiri.
“Saya yakin bahwa masalah dasar kita adalah telah terjadi semacam, saya tidak tahu, apakah itu penurunan kepemimpinan sosial . Namun, tingkat korupsi di negara saya sangat mengkhawatirkan,” ungkapnya dalam tayangan video dari akun You Tube World Government Summit, seperti dikutip kantor berita Antara pada Jumat, 14 Februari 2025.
Prabowo bertekad untuk mengerahkan seluruh tenaga dan wewenang yang diberikan oleh konstitusi kepadanya untuk mengatasi penyakit ini. Ia juga menegaskan akan membasmi para koruptor yang merugikan negara. Menurutnya, korupsi adalah akar dari semua kemunduran di berbagai sektor. Ia juga mengklaim bahwa komitmennya dalam membasmi korupsi didukung oleh banyak pihak. Tercermin dari survei tingkat kepuasan kinerja pemerintahannya setelah 100 hari menunjukkan angka yang tinggi, yakni 81 persen.
Tidak Sesuai Fakta
Sejak awal kampanye sebagai calon presiden, lalu setelah dilantik, Ia selalu menegaskan akan membasmi segala bentuk korupsi dan para koruptor. Namun sayang, pernyataannya untuk membasmi korupsi tidak sejalan dengan apa yang terjadi di lapangan. Hal itu terlihat dari pidato saat pertemuannya dengan pelajar Indonesia di Kairo, Mesir pada 18 Desember 2024 lalu.
Ia mengatakan akan memaafkan para koruptor dengan syarat mereka mau mengembalikan kerugian negara. Padahal, dalam penjelasan UU Tipikor Pasal 4 disebutkan, “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut.” Jadi jelas, pernyataan Prabowo tersebut telah menyelisihi UU Tipikor.
Menurut Bivitri Susanti, Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, adanya konsep pengampunan bagi para koruptor dengan syarat mengembalikan kerugian negara, justru berpotensi melanggengkan kejahatan korupsi itu sendiri. Dengan pola pikir kapitalis, yakni untung rugi, tentu mereka lebih memilih mengembalikan uang negara sepersekian persennya, lalu urusan beres, mereka tetap untung. Hal ini tentu saja tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku.
Korupsi, Produk Sistem Demokrasi
Sistem demokrasi kapitalis memang meniscayakan adanya peluang korupsi dalam setiap situasi dan kondisi. Dari tingkat tertinggi, yakni kepala negara sampai tingkat terendah, kepala desa selalu ada celah untuk korupsi. Hal ini wajar, karena biaya politik untuk memilih wakil rakyat dalam sistem ini sangat mahal. Para pejabat harus mengeluarkan biaya yang sangat tinggi untuk sampai kepada jabatan yang ingin diraihnya. Tak heran, ketika sudah menjabat, hal pertama yang dipikirkannya adalah bagaimana mengembalikan uang atau modal yang telah dikeluarkan ketika mencalonkan diri. Urusan rakyat, janji-janji politik itu urusan nanti.
Tentu tidak akan terlalu bermasalah ketika ia menggunakan uangnya sendiri, yang jadi masalah besar adalah ketika ada sekelompok orang atau pengusaha yang turut membiayai. Maka ketika ia menjabat, setiap kebijakan yang diambilnya harus tunduk kepada keinginan pengusaha tadi. Jadilah para penguasa bertekuk lutut di hadapan para pengusaha atau oligarki. Akhirnya mereka lemah dalam penegakan hukumnya.
Dalam teori ilmu hukum pidana, seseorang baru dianggap melakukan tindak pidana ketika memenuhi dua syarat, yaitu niat jahat (mens rea) dan perbuatan jahat (actus reus). Selain itu hukum dalam sistem ini memiliki standar ganda, hukum bersifat tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Tak heran ketika banyak koruptor kakap yang akhirnya dibebaskan atau diringankan hukumannya dengan alasan bersikap sopan. Sebaliknya, banyak rakyat kecil yang dipidanakan karena kesalahan ringan.
Korupsi, Haram
Korupsi, apapun alasan dan tujuannya, ia tetaplah perbuatan dosa yang haram dilakukan. Dalam kitab Al-Amwal karya Syekh Abdul Qadim Zallum disebutkan bahwa harta hasil korupsi (ghulul) adalah harta yang diperoleh dari para wali atau gubernur dan para pejabat atau pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i, yaitu dengan memanfaatkan jabatan, kekuasaan atau status kepegawaiannya. Baik harta itu berasal dari harta Negara atau harta individu. Maka mereka wajib mengembalikannya kepada pemiliknya, jika diketahui pemiliknya. Jika tidak diketahui, maka harta itu disita dan diserahkan kepada negara.
Dalam surat Ali Imran ayat 161, Allah Swt. Berfirman “Barang siapa berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya.”
Islam Membasmi Korupsi
Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna telah memiliki aturan baku untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Korupsi adalah kejahatan yang harus dibasmi secara tuntas. Uniknya aturan dalam Islam, ia bersifat preventif dan kuratif atau istilah lain zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).
Dalam hal korupsi, dahulu Umar bin Khattab selalu menghitung dan mencatat kekayaan seseorang sebelum diangkat menjadi pejabat. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan seseorang dari perolehan harta secara curang selama menjabat. Apabila ia memiliki kekayaaan tambahan yang diragukan, maka akan disita atau dibagi dua, separuhnya diserahkan kepada negara.
Adapun sanksi bagi koruptor berupa hukuman ta’zir, hukumannya diserahkan kepada keputusan qadi hakim sesuai kadar kejahatan atau bahaya yang ditimbulkannya. Bisa berupa teguran, denda, penjara atau hukuman mati.
Khatimah
Islam memiliki standar khas dalam menentukan setiap perbuatan, yakni berdasarkan akidah Islam, standar benar salah adalah perintah dan larangan Allah dan yang terakhir bahwa makna kebahagiaan adalah ketika mendapatkan ridha dari Allah. Maka ketika menyelesaikan masalah korupsi, bukan dilihat dari siapa yang melakukannya tapi lebih kepada perbuatannya itu sendiri.
Demikianlah yang seharusnya dilakukan untuk membasmi korupsi, harus jelas dan tegas. Bukan sekedar omong kosong atau retorika belaka yang membuat rakyat terpana sesaat, namun selanjutnya tersesat .
Wallahu A’lam bishawwab.