TangerangNews.com

Renungan Tentang Kematian

Mohamad Romli | Jumat, 3 Juli 2020 | 09:57 | Dibaca : 5527


Ilustrasi Pemakaman. (Istimewa / Istimewa)


 

Orang-orang yang telah berusaha taat kepada Allah SWT, perlahan-lahan mendapatkan pengetahuan hikmah dari setiap tindakan yang dilakukan. Pengetahuan yang begitu saja menyesap ke sanubarinya, menuntun akal berfikir jernih mencerna setiap fenomena kehidupan.

Pengetahuan itu diberikan Allah, sesuai kadar kemampuan nalar masing-masing. Karena Allah Maha Tahu, sumber pengetahuan hakiki melalui perantara Al Qur'an dan Rasulullah SAW.

Usia Manusia dan Kematian

Jelang magrib, aku dan sahabatku segera bergegas menuju masjid terdekat dari kantor. Saat itu, waktu datangnya panggilan salat sekitar 30 menit lagi, namun sobatku itu mengajakku bergegas meninggalkan aktivitas keredaksian.

"Ayo menjemput kematian," selorohnya dengan nada sungguh-sungguh.

#GOOGLE_ADS#

Aku yang mendengar kalimat itu, langsung dibuat kaget bukan kepalang. Sebab, kata-kata itu begitu ringan diucapkannya. Padahal, sebagian besar dari kita, paling menghindari kalimat yang bisa membuat bulu kuduk merinding.

Namun, sobatku itu, begitu enteng mengucapkannya.

"Loh, kenapa bengong?" tanyanya dengan tatapan memeriksa ekspresi wajahku yang kebingungan.

Ia melangkah meninggalkan meja kerjanya. Setelah ia sampai di pintu depan kantor, aku bergegas menyusulnya dengan tergopoh-gopoh.

"Kenapa harus sekarang sih ke masjid, waktu Magrib kan 30 menit lagi?" tanyaku dengan nada protes.

Namun, sobatku itu hanya tersenyum. Ah, kalau ia sudah berekspresi demikian, tandanya aku harus berfikir sendiri mencari jawaban.

Jarak kantor kami dengan masjid sekitar satu kilometer. Namun, sobatku ini memilih berjalan kaki daripada mengendarai sepeda motor. 

Pernah sekali aku bertanya, kenapa ia memilih berjalan kaki, dengan jawaban enteng ia menjawab, "Sekalian olahraga, duduk dan diam terus di kantor bikin otot tegang," jawabnya kala itu.

Hanya sekitar 10 menit kami sudah tiba di pelataran masjid. Aku melihat telah banyak kendaraan roda dua dan empat yang terparkir, mereka yang aku kira sama seperti kami, para pekerja kantoran yang akan pulang, namun mendahulukan sembahyang magrib, karena pasti telat jika sudah sampai di rumah.

"Tuh, lihat. Kita kalah cepat dengan mereka," kata sobatku ini sambil menunjuk ke arah deretan kendaraan yang terparkir rapih di lokasi parkiran masjid.

Ia bergegas menuju ruang wudhu, aku mengikutinya di belakang.

Kali ini, pandanganku tak lepas dari cara ia berwudhu. Sungguh berbeda dengan kebiasaannya dulu waktu kami masih di bangku kuliah.

Aku mengenal sobatku ini sejak semester satu di salah satu kampus di Tangerang. Kami sama-sama satu jurusan dan fakultas.

Aku sempat menyaksikannya salat, namun setelah itu tak pernah lagi melihatnya melakukannya.

Di dua artikel sebelumnya, aku telah menceritakan kisah perjalanan hidupnya.

Kali ini, gerakan demi gerakan wudhunya itu ia lakukan penuh seksama, seperti seseorang yang begitu menjiwai apa yang dilakukannya.

Setelah selesai wudhu, kami segera menuju ke dalam masjid. Ia langsung bergegas mencari posisi tepat di belakang imam, sementara aku di sampingnya.

Lantunan zikir mulai terdengar, surat Ad Dhuha berkali-kali dilapalkannya dengan suara sangat pelan. Namun, aku yang duduk di sampingnya, sayu-sayu mendengar suaranya.

Ia pernah bercerita, surat Ad Dhuha sudah ia hapalkan sejak usia belia. Ibunya berpesan, agar surat ke-93 dalam Al Qur'an itu, harus terus diamalkannya. Setelah aku menyimak kajian terkait surat tersebut oleh Ustadz Adi Hidayat di kanal YouTobe, bulu kudukku benar-benar merinding.

Adzan magrib dikumandangkan, sobatku itu refleks berhenti dari zikirnya. Ia segera menjawab segala yang dilapalkan oleh Muazin.

Selesai salat, ia tak segera bangkit dari tempat duduknya. Sekitar 30 menit ia kembali berzikir. Sementara aku, menantinya di pelataran masjid.

Waktu menunggunya itu aku manfaatkan dengan membuka beberapa kajian tentang surat Ad Dhuha. Aku berkesimpulan, betapa dahsyatnya hikmah rasa bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah, sehingga tak perlu ada lagi yang dikhawatirkan, sebab Allah selalu ada bersama kita, selama kita taat kepada-Nya.

Setelah surat Ad Dhuha, aku menyimak surat Ar Rahman. Meski tak pernah belajar ilmu agama secara mendalam, namun aku menggunakan nalarku dalam mencecap setiap terjemahan dalam surat tersebut.

"Ah, alangkah kurang bersyukurnya aku selama ini, sampai-sampai Allah banyak bertanya dalam surat Ar Rahman, nikmat mana lagi yang dapat aku dustakan," bisikku dalam hati.

Selesai hatiku berbisik, aku sudah mendapatkan sobatku telah duduk di sampingku. Aku tak menyadari kehadirannya, sebab tadi aku tengah larut dalam renunganku.

"Mikirin apa, saudaraku?" tanyanya dengan suara lembut.

Aku menggelengkan kepala.

"Enak ya kalau tiap hari bisa salat magrib seperti ini. Rasanya enteng banget," tiba-tiba aku berkomentar.

"Ya, saudaraku. Semoga demikian juga saat kita sakaratul maut. Enteng dan khusnul khotimah," katanya dengan ekspresi serius.

Aku terkejut dengan jawabannya. Apa hubungannya salat magrib dengan kematian.

"Sebentar, kok bahas sakaratul maut sih?" kataku dengan nada sedikit protes.

Sobatku itu hanya tersenyum. Ia bangkit dari duduknya dan menuju tempat menyimpan alas kaki. Aku mengikutinya dari belakang.

Dalam perjalanan kembali ke kantor, kami tak berbincang-bincang. Sebab, aku lihat sobatku terus melapalkan istigfar. Tak mungkin aku mengajaknya mengobrol, sementara ia tampak sangat menikmati istigfarnya.

Sampai di depan kantor, kami tak langsung masuk. Aku dan sobatku duduk di pelataran kantor, sambil memandang langit yang mulai redup menghitam. Cuaca mendung.

"Setiap kali datang waktu magrib, aku merasa kematianku semakin dekat," tiba-tiba ia bersuara dengan tatapan mata masih menengadah ke arah langit.

"Kenapa bisa begitu, bro?" tanyaku.

Pandangannya berpaling ke arahku. Beberapa detik, ia tampak serius menatapku. Kemudian, tatapan itu berlabuh pada sepasang alas kaki yang dikenakannya.

"Aku malu kalau sampai dipanggil Allah namun belum membawa bekal yang cukup. Sementara, umurku hanya seperti waktu magrib dengan isya," terangnya dengan nada sendu.

Astagfirullah. Kalimatnya itu menghujam ke ulu hatiku. Aku tak menyangka ia mampu berfikir demikian.

"Bukankah setelah magrib itu isya, kemudian kita tertidur? Bukankah itu sama seperti kehidupanku, setelah siang aku beraktivitas, malam aku tertidur. Setelah aku hidup, kemudian wafat," ujarnya sedikit bergumam, seperti berbicara dengan diri sendiri.

"Aku tak ingin sisa usia ini sia-sia. Waktuku semakin pendek. Makanya, setiap jelang magrib, aku bergegas menuju masjid sebelum dipanggil suara panggilan salat berkumandang," sambungnya.

"Hari ini, aku masih dipanggil Allah untuk melaksanakan salat magrib, esok atau lusa, aku pasti dipanggil untuk pulang ke akhirat. Waktu magrib, selalu menjadi perenunganku akan kematian. Aku menghisab diri atas aktivitasku hari ini. Berapa amal yang sudah ku perbuat, berapa dosa yang aku lakukan. Sehingga, kala aku melangkah menuju masjid, pikiranku sibuk berhitung," terangnya lagi.

"Aku seperti melangkah menuju waktu kematian. Tak ada lagi yang aku pikirkan selain hari pembalasan," tegasnya. 

Sobatku terdiam. Lebih-lebih aku, mulutku seperti terkunci. Kami sama-sama diam dengan pikiran masing-masing.

Kepalaku menunduk, tak ada yang dapat aku ucapkan. Karena, suara hatiku bergemuruh. Suara yang sulit aku lukiskan, namun terasa begitu menyakitkan, sebab aku sadar, belum siap dijemput ajal.

 

Oleh : Mohamad Romli 

Redaktur TangerangNews.com