TangerangNews.com

Suhendar dan Pilkada Tangsel

Redaksi | Kamis, 20 Juni 2019 | 23:48 | Dibaca : 5865


Suhendar. (Istimewa / Istimewa)


Suhendar dan Pilkada Tangsel

Oleh: Aru Wijayanto

Bila selama ini isu pergerakan Tangerang Selatan seringkali bermula dari kawasan Ciputat, kini tawaran gerakan perubahan lahir dari daerah paling ujung di perbatasan antara Kota Tangsel dengan Kabupaten Tangerang, yakni Kranggan, Kecamatan Setu. Adalah Suhendar, sosok aktivis antikorupsi dan akademisi yang memantapkan langkahnya untuk maju sebagai bakal calon Wali Kota Tangerang Selatan pada Pilkada 2020 mendatang. Sebuah keputusan berani—campur nekat, tentunya—untuk maju menjadi salah satu kandidat sebuah perhelatan besar yang (selalu) tegang hingga ke saraf kaki itu. 

 

Pertanyaannya: siapakah sosok Suhendar ini?

 

Suhendar bukanlah tokoh partai serta tidak punya garis keturunan keluarga dari anggota dinasti pemimpin partai manapun. Bukan pula lahir dari keluarga kaya raya yang terbiasa berspekulasi di dunia politik praktis. Ia hanyalah pemuda biasa kelahiran Kranggan, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan 36 tahun silam—juga dari keluarga yang menganut azas ekonomi “cukup tidak cukup harus bertahan”. Maka tidak heran bila masa remaja Suhendar pun telah bercampur dengan aktivitas mencari tambahan uang dengan berdagang keliling. Tapi, dari situlah ia mengenal dan berlatih menghadapi dunia dengan segala karakternya.

 

Sebagai sosok yang sudah terbiasa berhadapan dengan dunia yang seringkali tidak ramah itu, ia memang punya banyak stok semangat—juga nyali—untuk bertarung dengan banyak hal, termasuk di dunia pendidikan. Tidak mudah saat ia harus menyelesaikan kuliah S1-nya di Universitas Pamulang. Tapi seiring dengan semakin banyaknya aktivitas serta pekerjaan, ia akhirnya bisa melanjutkan pendidikan ke Program Magister Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Saat ini Suhendar sedang merampungkan Program Studi Doktoral Bidang Ilmu Hukum di Universitas Jayabaya Jakarta.

 

Sejak kuliah, ia memang dikenal aktif berorganisasi. Mulai dari Karang Taruna, organisasi mahasiswa, hingga ikut program pertukaran pemuda antar-provinsi. Namanya mulai dikenal (sebagian) orang di Tangerang Selatan setelah ia—bersama saya—mendirikan lembaga Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH), sebuah perkumpulan yang didirikan untuk membangun gerakan antikorupsi di Tangerang Selatan, persis setelah kota ini memiliki Wali Kota pertama. Maka tidaklah berlebihan bila saya menyebut Suhendar sebagai sosok penting dalam proses gerakan pemberantasan korupsi di Kota Tangerang Selatan.

#GOOGLE_ADS#

Bila kemudian hari ini ada berbagai kegiatan gerakan antikorupsi di Tangerang Selatan dan Banten—baik itu dari LSM lokal maupun nasional--tentu saja hal ini tidak bisa dilepaskan dari aktivitas yang dibangun Suhendar dengan TRUTH yang hingga kini masih berjalan. Suhendar sadar betul, sebagai seorang putra daerah, ia harus mampu menjaga kota ini dengan sebaik-baiknya agar memiliki manfaat besar untuk orang banyak. Ia tak ingin melihat kota ini sebagai gelap yang mutlak, gelap yang getir, akibat perilaku korupsi yang bukan sekadar mencuri. Meski dengan tenaganya yang serba tanggung, Suhendar tak ingin membiarkan kelam itu terus membesar.

Baca Juga :

Itu sebabnya ia tak pernah sepenuhnya mundur dari gerakan pemberantasan korupsi. 

 

***

 

Nama Suhendar belakangan ini kembali muncul ke permukaan setelah dirinya mem-publish akan ikut bertarung sebagai bakal calon Wali Kota Tangerang Selatan. Sebuah niat baik yang mencengangkan, bagi saya. Tapi saya begitu kenal Suhendar. Ia pasti tidak main-main. Meski ia tak mengawali perjalanannya dengan “kami” yang pasti, juga tanpa bendera partai politik. Namun, keyakinan dan kemampuannya memposisikan diri senasib sepenanggungan dengan arus bawah, bicara langsung dengan orang ramai itu, ternyata membuat dukungan untuknya terus bertambah.

Suhendar & Pilkada Tangsel.

Dari situlah politik populis Suhendar mulai ada titik terang. Apalagi, di dalam hatinya (memang) selalu ada kehendak untuk mengubah keadaan. Ia tipikal orang yang tidak bisa berdiam diri ketika melihat keadaan yang tidak lazim. Nyaris tak mungkin ia mengabaikan persoalan ketidakadilan. Ia punya daftar panjang tentang hal-hal yang tak mungkin diabaikan. Suhendar sadar, manusia ada dan tak bisa bebas dari kekurangan, bahkan keburukan. Nobody’s perfect. Sebab itu ia sering berbincang kepada masyarakat bahwa tiap keadaan, tiap keburukan, sebenarnya bisa diubah. 

 

Suhendar tahu persis, di tengah gegap-gempitanya Tangerang Selatan, ada juga warga yang mengaduh.

 

Di kota ini, boleh jadi sebagian orang begitu gampang membeli 1-2 unit apartemen di Singapura, menikahkan anak beberapa kali di Convention Hall Jakarta, atau menginap di rumah sakit internasional dengan harga kamar Rp2 juta per malam meski cuma menderita radang tenggorokan. Tapi ia juga tahu, Puskemas—meski dengan pelayanan kadang baik, kadang seadanya, kadang menyebalkan—saban hari selalu dipenuhi warga ber-KTP Tangerang Selatan lengkap dengan rasa putus-asanya masing-masing. Belum lagi dengan saudara-saudara kita yang terlalu lama menganggur hingga akhirnya berubah menjadi perusuh kecil di jalanan atau di pasar-pasar. 

 

“Ini masalah, bang,” kata Suhendar suatu kali kepada saya. 

 

Baginya, bersikap acuh tak acuh sama artinya telah bersekongkol dengan ketimpangan tersebut. Kita sama-sama tahu, seperti kata James C Scott (1981), kemiskinan telah menyebabkan masyarakat rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life, mempertaruhkan tenaga fisik dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkannya. Tentu saja ini kondisi yang tak mungkin dibiarkan. 

 

Suhendar memahaminya dengan mencoba mendorong apa yang disebut sebagai ruang yang “soliter” digantikan oleh yang “solider” di Tangerang Selatan. Ini sama artinya dengan mencoba membangun rasa kebersamaan yang kuat di tengah situasi kota yang terus mendorong kita untuk makin berjarak dengan banyak hal : ketika penderitaan seakan-akan milik masing-masing dan tak punya kesempatan untuk dibagi. Ketika orang melihat atau membeli kemeja Emiglio Zegna, Ralph Lauren, atau Hugo Boss, tanpa pernah peduli siapakah nama-nama itu : apakah ia seorang disainer atau selebriti yang namanya dipinjam untuk merk. 

 

Kita tahu, pernah ada cita-cita besar untuk membangun pilihan lain agar manusia bisa kembali menikmati hidup bukan sebagai komoditas belaka. Suhendar mencoba “berkampanye” dengan menggugah kesadaran bahwa tak selamanya hal-ikhwal harus melulu punya nilai tukar. Ia mencoba membangun pemahaman bahwa manusia tak selama makhluk yang hidup dengan subyektifitasnya sendiri, tetapi juga dengan “inter-subyektifitas”, dan karena itu—bahkan dalam keadaan berat—kita mestinya masih bisa menyempatkan diri untuk memikirkan perasaan dan nasib orang lain. 

Bagi saya, ini sama artinya dengan upaya mempertahankan Tangerang Selatan sebagai sebuah ingatan yang berharga. Inilah yang sedang dicoba dibangun oleh Suhendar.

 

Aru Wijayanto

Pemerhati gerakan demokrasi di Banten